Buah Merah Penakluk Penyakit Maut
Di penghujung Desember 2003 Agustina Sawery
seperti menanti dentang lonceng kematian. Perempuan 23 tahun itu divonis
positif mengidap Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), pencabut
nyawa yang sulit terelakkan. Tubuhnya kurus kering, tersisa kulit
membalut belulang. Bobot tubuhnya cuma 27 kg dari sebelumnya 50 kg
dengan tinggi 150 cm. Pistel ani atau infeksi anus, gangguan fungsi
hati, mulut bercendawan, dan infeksi paru-paru melengkapi
penderitaannya. Rombongan penyakit yang tak kalah berbahaya itu dipicu
oleh bercokolnya virus perontok kekebalan tubuh.
Malapetaka itu berawal dari pekerjaannya sebagai
pekerja seks komersial karena kemiskinan yang mengimpit keluarga.
Alih-alih keluar dari jerat kemiskinan, ia malah terserang HIV/AIDS.
Maka sejak Desember 2003 ia berbaring di bagian Penyakit Dalam RSUD
Jayapura. Karena fungsi hati rusak, ia belum dapat menelan obat apa pun
sehingga harus diinfus.
Tiga purnama dilewatinya di sana. Pada 27 Februari
2004 anak ke-5 dari 7 bersaudara itu pulang ke rumah. Melalui jasa baik
Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat, ia dipertemukan dengan Drs I
Made Budi MS. Saat itu Made sudah dikenal luas di Papua lantaran kerap
mengobati berbagai penyakit seperti kanker dengan eksktrak buah merah.
Sejak April 2004 ia memberikan ekstrak buah merah kepada Agustina.
Konsumsinya satu sendok makan dengan frekuensi 3 kali sehari berbarengan
dengan obat paru-paru pemberian dokter.
Konsumsi buah anggota famili Pandanaceae itu
diimbangi dengan asupan makanan berprotein tinggi. Perlahan-lahan
kondisi tubuh perempuan kelahiran 14 Agustus 1981 itu membaik. Tiga
bulan mengkonsumsi ekstrak sauk eken-sebutan buah merah di Wamena-,
bobot tubuh meningkat 6 kg. Bobot tubuh terus meningkat hingga 46 kg
saat ini. Selain itu wajah lebih ceria dengan sorot mata bersinar.
Kulitnya yang semula busik, kembali mulus. Rambut yang sempat rontok
mulai tumbuh di atas kepalanya. Singkat kata, Agustina tampak jauh lebih
bugar. Padahal, “Ketika saya tangani, kondisi Agustina seperti tak ada
harapan lagi,” kata Made.
Pria 44 tahun itu bertutur, “Buah merah berfungsi
seperti obat antiretrovirus yang amat dibutuhkan penderita HIV/AIDS. Ia
mengikat protein dan meningkatkan kekebalan tubuh.” Pencapaian amat
spektakuler itu juga sejalan dengan hasil pemeriksaan laboratorium di
Jakarta pada awal November 2004. CD-4 darah Agustina sudah menembus
angka 400 dan CD-8 menunjukkan negatif. CD-4 orang yang positif AIDS,
maksimal 200; CD-8, positif. Wanita Papua itu kini hampir menggapai
kesembuhan total.
Stop Stroke
Bukan cuma Agustina Sawery yang lolos dari belenggu
penyakit maut. Ny. Subari, misalnya, pada September 2002 terserang
celebral apoplexy atau populer dengan sebutan stroke. Setelah 10 hari
opname di sebuah rumah sakit di Jayapura, ia pulang meski belum sembuh.
“Bagian tubuh sebelah kiri tak bisa digerakkan, mati sama sekali,” ujar
guru SMP 2 Abepura itu mengenang.
Ketika itu menyebut nama saja ia tak mampu.
Pandangan kabur, pusing, stres. Kisah pilu itu bakal menjadi kenangan
pahit baginya. Sebab 3 bulan meminum ekstrak buah merah-2 x 1 sendok
makan per hari-, ia sudah melepas tongkat. Kini ia aktif mendidik dan
menjelaskan materi pengajaran di depan murid-muridnya seperti semula.
Yang juga merasakan manfaat Pandanus
conoideus-bukan Pandanus coinedeus seperti ditulis Trubus edisi
sebelumnya-adalah Susilah. Sejak tahu kanker payudara stadium 2
diidapnya, ia tampak menutup diri karena terpukul. Tangannya tak lagi
dapat digerakkan. Saran dokter untuk operasi ditolak karena khawatir
maut menjemput lewat jalan penyembuhan itu.
Di tengah kebimbangan, kemenakannya, Jelly Serang,
datang membawa ekstrak buah merah. Inilah tumpuan harapan Susilah. Ia
meminumnya 2 kali sehari masing-masing 1 sendok makan. Setelah 2 botol
dihabiskan, nyeri yang menderanya hilang sama sekali. Dua bulan
berselang, setelah menghabiskan 8 botol masing-masing 120 cc, sel kanker
yang semula 6 cm mengecil menjadi 3 cm. Kini kondisinya terus membaik.
Antioksidan
Agustina, Subari, dan Susilah hanya sebagian kecil
orang yang merasakan faedah sari buah merah. Menurut I Made Budi, hingga
November 2004 tercatat 1.000 pasien sembuh setelah rutin mengkonsumsi
buah endemik Papua itu. Sekitar 400 orang di antaranya sembuh berbagai
jenis kanker. Mereka tak hanya dari Jayapura, Timika, atau Merauke,
tetapi juga tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Mungkinkah sebuah komoditas mampu mengobati beragam
penyakit? “Di dunia medis mungkin saja. Contoh diare bisa diberi
ambisilin, infeksi tenggorokan juga ambisilin, begitu juga tifus,” ujar
dr Willie Japaries MARS, pengobat komplementer alumnus Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Itulah yang dikenal sebagai panasea
alias obat segala penyakit.
Ahli gizi Prof Dr Muhilal tak heran akan khasiat
buah merah. Doktor Biokimia alumnus University of Liverpool itu pada
1992 meneliti xeroftalmia alias kekurangan vitamin A. Prevalensi
penderita di Papua jauh lebih kecil ketimbang di Jawa sekalipun.
Rahasianya, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua terbiasa
melahap buah merah yang kandungan betakarotennya mencapai 700 ppm. Oleh
glukosa zat itu diubah menjadi vitamin A.
Selain itu kuansu-nama lainnya-juga mengandung
tokoferol 11.000 ppm yang mampu menangkal radikal bebas. Tingginya
kandungan vitamin E-nama lain tokoferol-hanya dapat ditandingi oleh
zaitun. Senyawa itulah benteng pertahanan terhadap serangan penyakit
degeneratif seperti diabetes melitus, darah tinggi, dan kanker.
“Antioksidan itu mengatasi penyakit degeneratif, penangkal radikal bebas
seperti cadmium, penghalang ketuaan, bisa untuk mata,” kata Dr Chairul,
doktor Kimia dan peneliti di Puslitbang Biologi LIPI.
Wajar jika buah merah direkomendasikan oleh ahli
penyakit dalam dari Manado, Roy Pontoh, untuk pasiennya. “Dari komposisi
yang saya baca di Trubus, saya yakin obat ini bisa meredam penyakit
paru-paru,” kata Roy. Penderita di luar negeri pun tertarik mencoba obat
itu. Di antaranya penderita kanker otak berumur 2 tahun yang sedang
dirawat di Singapura dan penderita kanker payudara stadium III A yang
menjalani terapi nutrisi di Amerika Serikat.
Dosis
Buah berbentuk bulat panjang itu mengandung 58%
asam oleat dan 7,8% asam linoleat. Keduanya asam lemak esensial bagi
tubuh yang mudah dicerna sekaligus memperlancar metabolisme. Omega 3
tinggi berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak. “Kanker itu
merupakan jaringan yang tumbuh tidak terkendali,” kata Made (baca:
Ciuman Maut untuk Virus Maut halaman 18-19).
Toh, belum semua pasien yang minum ekstrak buah
merah memperoleh kesembuhan. Contoh, penderita tumor payudara yang
ditangani dr Willie Japaries. Meski sudah sebulan mengkonsumsi buah
merah, kesembuhan bak jauh panggang dari api. Menurut Willie lazimnya
untuk mengatasi kanker, diperlukan 3-4 herbal. Sementara dalam hal ini,
ia hanya memberikan satu jenis, yakni buah merah sehingga dinilai kurang
efektif.
Mulyadarma, dokter di Rumah Sakit Darma Medika di
Wonogiri, Jawa Tengah, yang juga memberikan buah merah kepada pasien
berujar, “Selama ini obat alternatif hanya menunda sel-sel kanker
berkembang lebih lanjut.” Orang kerap salah menduga mengkonsumsi ramuan
herbal dijamin aman. Padahal jika tidak tepat dosis tetap saja berdampak
buruk.
Soal tingginya betakaroten, menurut Muhilal tak
berefek negatif bagi kesehatan. “Kalau berlebihan akan disimpan di
lapisan lemak bawah kulit sehingga kulitnya tampak kuning. Tapi
kejadiannya amat langka. Di dunia kejadian seperti itu tak lebih dari 5
orang,” kata kelahiran 5 Januari 1940 itu.
Tadinya Gratis
Dengan kandungan antioksidan tinggi wajar jika buah
merah mampu menyembuhkan beragam penyakit. Itu yang menyebabkan
popularitas kerabat pandan wangi meroket. Bak obat ajaib, ia menjadi
buah bibir. Banyak dokter menyarankan pasiennya untuk meminum sari buah
merah. Malahan periset AIDS di Amerika Serikat antusias menanggapi
temuan khasiat yenggen.
Padahal sebelumnya secara turun temurun buah merah
tak lebih dari sekadar bahan pangan masyarakat Papua. Harganya amat
murah, jika tak boleh dibilang tak bernilai. Dengarlah penuturan Ir Ana
Saway dari Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura, “Dulu buah merah tak
perlu dibeli. Kita tinggal minta dan dikasih. Kalau kita bertemu dengan
penjual di pasar, kita bisa dikasih cuma-cuma.”
Titik tolak perubahan itu terjadi pada 1988. Drs I
Made Budi yang tengah meneliti jamur di pedalaman Kurulu, kesengsem saat
melihat pertama kali sosok buah merah. Dosen Jurusan Biologi
Universitas Cenderawasih itu mendapat informasi dari penduduk setempat,
jika mau sehat makanlah buah merah. Buktinya masyarakat Jayawijaya yang
gemar menyantap buah merah sehat walafiat meski sepanjang hidupnya tanpa
berpakaian. Padahal suhu di sana amat rendah, di bawah 20oC.
Riset intensif yang dilakukan Made ketika mengambil
gelar master Gizi Masyarakat akhirnya menyibak tabir buah merah (baca:
Menduniakan Buah Merah, halaman 22-23). Pantas jika banyak orang kini
berupaya membudidayakannya. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten
Jayapura Ir La Achmadi MMT, buah merah dikembangkan besar-besaran di
daerah Ubruk dan Waris, keduanya di Kabupaten Keerom.
Tawi-sebutan buah merah di Lembah Baliem-kini makin
dilirik orang. “Banyak investor dari Jakarta yang datang langsung ke
Wamena untuk membeli buah,” papar I Made Budi. Saking banyaknya
permintaan dari Jakarta, sampai-sampai buah merah milik Made di 3
kecamatan di Wamena pun ludes dijarah. Di luar Papua, penjual-penjual
sari buah merah makin banyak bermunculan seiring tingginya permintaan.
Melonjaknya permintaan sari buah merah membuat
harga bahan baku melambung. Komoditas yang Juli 2004 hanya berharga
Rp50.000 per buah, akhir November 2004, harganya melangit mencapai
Rp350.000. Itu pun harus pesan terlebih dahulu (baca: Papua Kala Buah
Merah Melejit, halaman 16-17). “Banyak orang yang cari buah merah,”
tutur Dorim, pedagang di depan Hotel Yasmin, Jayapura. Trubus yang
jauh-jauh hari memesan 2 buah pun tak kebagian.
0 komentar:
Posting Komentar