SEJAK
12 Oktober 2004 Indonesia memiliki Komisi Bioetika Nasional karena pada
hari itu komisi yang terdiri atas 33 anggota ini dilantik di kompleks
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Para
anggotanya adalah ahli di bidang kedokteran, biologi dan ilmu-ilmu
hayati lain, hukum, etika, teologi, agama, ilmu sosial, dan lain-lain. KBN
dibentuk berdasarkan surat keputusan bersama tiga menteri: menteri
negara riset dan teknologi, menteri kesehatan, dan menteri pertanian.
Dalam surat keputusan bersama ini KBN diberi tiga tugas. Pertama,
memajukan telaah masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip bioetika.
Kedua, memberi pertimbangan kepada pemerintah mengenai aspek bioetika
dalam penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berbasis pada ilmu-ilmu hayati. Ketiga, menyebarluaskan
pemahaman umum mengenai bioetika.
Demikian
Indonesia bergabung dengan negara-negara yang sudah memiliki sebuah
komisi bioetika. Sudah sejak dasawarsa 1970-an hampir setiap presiden
Amerika Serikat membentuk komisi macam itu walaupun istilah bioetika
baru dipakai di dalam nama komisi-komisi terakhir. Presiden
Bill Clinton mendirikan National Bioethics Advisory Commission (1995).
Presiden George W Bush dalam periode pertama pemerintahannya membentuk
The President’s Council on Bioethics (2001). Di Eropa banyak negara
memiliki suatu komisi bioetika. Namun, ada juga negara yang menganggap
tidak perlu membentuk komisi bioetika khusus karena sudah memiliki
organ-organ lain yang memungkinkan tujuan dimaksudkan tercapai.
Tujuan
komisi-komisi macam itu adalah menjadi think tank untuk pemerintah di
bidang ilmu dan teknologi biomedis serta pelayanan kesehatan dalam arti
yang paling luas dan dalam hal itu terutama menyoroti aspek-aspek
etisnya. Di samping itu komisi-komisi diharapkan akan memajukan serta
menyosialisasikan pemikiran bioetika dalam masyarakat dan menjalin
hubungan dengan forum-forum internasional di bidang yang sama.
Kekhususan etika
Jika
kita memandang istilah bioetika, secara spontan tampak arti ’etika
tentang kehidupan’. Dalam hal ini kata etika barangkali tidak begitu
asing bagi telinga kita, tetapi bisa ditanyakan lagi apa persisnya
artinya. Kalau kita menyimak cara kata ini dipakai dalam masyarakat,
terutama ada dua arti. Pertama, sering kita mendengar atau membaca
kalimat seperti berikut ini: "hal itu tidak etis", "perbuatan itu tidak
sesuai dengan etika yang benar", "kita tidak boleh memikirkan keuntungan
saja, masih ada juga etika". Jika kalimat-kalimat macam itu dipakai,
etika dimaksudkan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang
diterima sebagai pegangan bagi perilaku kita. Di sini etika sama artinya
dengan moral atau moralitas.
Moralitas
merupakan suatu aspek penting dalam hidup manusia-pada taraf perorangan
maupun sosial-dan sekaligus sebuah aspek yang khas untuk manusia saja. Etika
atau moralitas tidak berperanan sama sekali untuk hewan. Hanya manusia
yang merupakan makhluk moral. Hanya bagi manusia berlaku bahwa tidak
semua hal yang bisa dilakukan boleh dilakukan juga. Perilaku manusia
tidak baik sungguh-sungguh kalau tidak ditandai oleh moralitas. Memiliki
banyak harta benda, umpamanya, secara spontan dianggap baik karena
sangat memperluas kemungkinan orang bersangkutan. Namun, harta benda itu
sendiri hanya membuat manusia menjadi baik dalam arti terbatas saja.
Jika harta benda yang berlimpah-limpah diperoleh melalui jalan korupsi,
akhirnya orang itu tidak baik. Etika atau moralitas tidak membuat
manusia baik menurut aspek terbatas saja. Etika membuat dia baik sebagai
manusia. Karena itu, manusia baru adalah baik sungguh- sungguh bila
berpegang pada etika.
Menurut arti kedua, etika adalah ilmu. Etika
ini adalah studi tentang moralitas atau tentang etika dalam arti
pertama. Etika ini mempelajari kehidupan baik atau buruk dalam arti
moral dan coba menentukan yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan. Etika ini termasuk filsafat dan karena itu disebut juga etika
filosofis atau filsafat moral. Sejarahnya sudah amat panjang, kira-kira
25 abad. Tempat kelahirannya adalah Yunani kuno. Sokrates, Plato, dan
Aristoteles dapat dipandang sebagai pemikir yang meletakkan dasar bagi
ilmu etika. Dan dengan trio intelektual yang sangat unik ini, etika
filosofis segera mencapai kualitas pemikiran yang masih dikagumi sampai
sekarang. Aristoteles (384-322 SM) bahkan menciptakan istilah etika dan
menulis beberapa buku yang mencantumkan istilah ini dalam judulnya.
Etika dalam profesi medis
Salah
satu bidang di mana etika sudah lama mendapat perhatian khusus adalah
profesi kedokteran. Ilmu kedokteran juga merupakan ciptaan Yunani kuno
yang khas. Hippokrates dari Kos (kira-kira 460-370 SM) adalah orang
Yunani kuno yang digelari "bapak ilmu kedokteran" karena untuk kali
pertama memberikan suatu dasar ilmiah kepada profesi kedokteran dengan
melepaskannya dari suasana gaib dan penuh mistik yang meliputi profesi
ini sebelumnya. Yang sangat mengagumkan adalah bahwa Hippokrates yang
sama sekaligus memberikan juga dasar etika kepada profesi medis ini
dengan merumuskan "Sumpah Hippokrates". Karena
itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa etika kedokteran (etika
dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral) seumur dengan profesi
kedokteran itu sendiri. Lebih mengagumkan lagi bahwa hubungan antara
etika (bahkan langsung dalam bentuk Sumpah Hippokrates ini) dan profesi
medis tidak pernah dilepaskan sepanjang masa. Walaupun pasti ada juga
banyak ups and downs, Sumpah Hipokrates tahan terus dalam sejarah
kedokteran dan memberi kontribusi besar guna menegakkan profesi medis
sebagai profesi yang terhormat dalam masyarakat.
Sampai
dalam zaman modern, banyak sekali dokter baru di seluruh dunia
mengucapkan sumpah ini saat mereka mulai menuaikan profesi medisnya.
Baru pada tahun 1948 Majelis Umum Asosiasi Kedokteran Dunia merumuskan
suatu versi modern dari Sumpah Hippokrates ini dalam dokumen yang
disebut Deklarasi Jenewa (Declaration of Geneva) yang menjadi dasar
untuk semua kode etik kedokteran setempat, termasuk juga Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Namun, jika kita menyimak isinya, sebetulnya cukup
mengherankan betapa banyak unsur dari Sumpah Hippokrates yang asli di
sini dipertahankan dalam bentuk modern.
Dengan
melanjutkan suasana Sumpah Hippokrates, etika kedokteran tradisional
terutama terfokuskan pada relasi dokter-pasien dan kewajiban dokter
terhadap pasiennya. Dan hal itu masih tetap merupakan aspek penting dari
etika profesi medis. Namun, dalam perkembangan luar biasa yang dialami
ilmu dan teknologi biomedis selama abad ke-20, muncul banyak masalah
etis baru yang tidak pernah disangka sebelumnya dan tidak tersentuh oleh
etika kedokteran yang tradisional.
Sebuah
contoh yang mencolok mata adalah penelitian biomedis yang
mengikutsertakan subyek manusia. Seusai Perang Dunia II, baru diketahui
eksperimen-eksperimen kejam yang dilakukan dokter-dokter Nazi selama
rezim Hitler di Jerman dengan korban-korban mereka yang kebanyakan
keturunan Yahudi. Pengalaman mengejutkan ini memicu perhatian besar
untuk etika penelitian biomedis yang sejak saat itu menjadi bagian
penting dari etika biomedis. Perlu diperhatikan lagi bahwa di antara
peneliti-peneliti biomedis itu terdapat semakin banyak ahli dari luar
profesi kedokteran, seperti ahli-ahli biologi, yang juga tidak terdidik
dalam tradisi etika kedokteran dan tidak pernah mengucapkan Sumpah
Dokter. Meski demikian, tidak bisa disangkal bahwa seluruh dunia
penelitian ini merupakan suatu sektor hakiki dari ilmu-ilmu kedokteran.
Contoh
lain adalah problem-problem baru yang muncul berhubungan dengan
pengembangan intensive care unit (ICU) yang memakai alat-alat canggih
seperti respirator, mulai dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Dengan
teknologi baru ini dimungkinkan bahwa fungsi pernapasan dan peredaran
darah diambil alih oleh mesin. Bila mesin dihentikan, pasien langsung
meninggal karena ia tidak lagi bisa bernapas secara spontan. Namun, jika
pasien hanya bernapas dengan bantuan mesin, apakah dapat dikatakan
bahwa ia masih "hidup" dalam arti yang sebenarnya? Perbatasan antara
hidup dan mati menjadi kacau! Permasalahan ini agak cepat mengakibatkan
munculnya pengertian baru tentang kematian, yaitu mati otak: manusia
adalah mati jika seluruh otaknya mati atau tidak memiliki aktivitas
lagi. Kalau pasien dengan kondisi itu sudah sungguh mati otak, kita
boleh mengambil organ-organnya untuk ditransplantasi pada pasien lain
yang membutuhkan. Demikian memang prosedurnya dalam transplantasi
jantung, umpamanya.
Selain
mengubah definisi kematian itu sendiri, pemakaian alat bantu hidup
dalam ICU menimbulkan banyak masalah etis baru lagi. Misalnya, kalau
kita menghentikan alat bantu hidup seperti respirator, apakah kita tidak
membunuh pasien? Atau, sebaliknya, kita menyiksa pasien terminal dengan
memakai terus alat-alat bantu hidup itu, sedang pasien sudah tidak
dapat disembuhkan dengannya? Pertanyaan-pertanyaan ini memang menyangkut
hubungan dokter-pasien, tetapi dalam perspektif baru yang tidak
dibayangkan sebelumnya.
Masalah-masalah
etika yang sama sekali baru seperti itu merupakan latar bagi munculnya
bioetika sekitar akhir dasawarsa 1960-an. Tidak dapat diragukan,
timbulnya bioetika dipicu oleh "revolusi biomedis" yang berlangsung
dalam abad ke-20. Bioetika adalah refleksi etis atas
pertanyaan-pertanyaan baru yang ditimbulkan oleh life sciences dan
teknologi biomedis sejak kira-kira pertengahan abad ke-20. Perkembangan
yang begitu cepat dan kadang-kadang sungguh revolusioner mengundang
kalangan ilmiah untuk juga memikirkan implikasi-implikasi etisnya.
Karena itu, bioetika dapat dipandang sebagai perluasan etika kedokteran
yang tradisional. Dengan demikian, di satu pihak ada kesinambungan
dengan tradisi etika kedokteran sejak zaman Hippokrates, tapi di lain
pihak ada juga perspektif baru, bukan saja karena menyoroti masalah-
masalah baru, melainkan juga karena ditandai ciri-ciri baru yang akan
dibahas lagi lebih lanjut.
Kelahiran bioetika
Bioetika ternyata tidak menjadi mode sesaat saja, sebagaimana terjadi dengan cukup banyak inovasi intelektual lainnya. Di
Indonesia pun bioetika sudah bukan benda asing lagi, terutama dalam
kalangan akademis. Misalnya, tahun 1988 di Universitas Atma Jaya,
Jakarta, diadakan seminar bioetika yang mengikutsertakan pakar-pakar
dari Belanda, Belgia, dan Amerika Serikat. Bahan seminar kemudian
diterbitkan dalam bentuk buku: Bioetika. Refleksi atas Masalah Etika
Biomedis, Jakarta, Gramedia, 1990. Dan sejak tahun 2000 kita memiliki "Jaringan Bioetika dan Humaniora" yang sudah tiga kali menyelenggarakan pertemuan nasional.
Bagaimana
awal mula bioetika? Orang yang biasanya disebut untuk kali pertama
menciptakan istilah bioethics adalah Van Rensselaer Potter, peneliti
biologi di bidang kanker dan profesor di Universitas Wisconsin.
Awal tahun 1971 ia menerbitkan buku Bioethics: Bridge to the Future.
Tahun sebelumnya ia sudah menulis sebuah artikel yang menyebut istilah
yang sama: Bioethics, the Science of Survival. Kemudian Potter mengakui
bahwa istilah ini tiba-tiba timbul dalam pemikirannya, semacam "ilham".
Ia memaksudkan bioetika sebagai ilmu baru yang menggabungkan pengetahuan
ilmu-ilmu hayati dengan pengetahuan tentang sistem-sistem nilai
manusiawi dari etika. Dengan demikian, dua kebudayaan ilmiah yang
senantiasa terpisah dapat memperkuat dan memperkaya satu sama lain. Hal
itu perlu supaya bangsa manusia dapat bertahan hidup. Sebagai tujuan
terakhir bidang baru ini ia melihat "not only to enrich individual lives
but to prolong the survival of the human species in an acceptable form
of society".
Tidak lama kemudian André Hellegers dan kawan-kawan mulai memakai juga kata bioethics. Hellegers
adalah ahli kebidanan, fisiologi fetus, dan demografi yang berasal dari
Belanda dan bekerja di Universitas Georgetown, Washington DC. Ia
berpikir bahwa dia sendiri (bersama rekan-rekannya) menciptakan istilah
itu untuk kali pertama dan memang mungkin terjadi demikian, tak
tergantung dari Potter. Namun, lebih probabel adalah Hellegers membaca
kata itu dalam artikel atau buku Potter, lalu melupakan asal-usul itu
dan secara spontan memberi isi baru kepada istilah ini. Yang pasti
adalah Hellegers memakai kata bioetika seperti dimengerti kemudian. Ia
memaksudkan bioetika sebagai kerja sama antara ilmu-ilmu hayati, ilmu
sosial, dan etika dalam memikirkan masalah-masalah kemasyarakatan dan
moral yang timbul dalam perkembangan ilmu-ilmu biomedis.
Pada
tahun 1971 Hellegers mendirikan The Joseph and Rose Kennedy Institute
for the Study of Human Reproduction and Bioethics di kampus Universitas
Georgetown, Washington DC, kemudian namanya diubah menjadi Kennedy
Institute of Ethics. Pendirian
institut ini dimungkinkan karena sumbangan besar keluarga Kennedy.
Hellegers menjadi direktur pertama. Dalam hal ini ia terutama tampil
sebagai organisator dan inspirator yang menggerakkan orang lain. Ia
sendiri hanya menerbitkan sedikit publikasi. Di antara staf selama
tahun-tahun pertama terdapat ahli-ahli filsafat dan etika: Edmund
Pellegrino (juga dokter), Tom Beauchamp, James Childress, Robert Veatch.
Melalui ceramah, kursus, publikasi ilmiah serta populer, partisipasi
dalam komisi-komisi, dan lain-lain mereka memberi kontribusi besar dalam
mengembangkan bioetika sebagai suatu bidang intelektual dan akademis
yang khusus. Antara lain mereka menerbitkan Encyclopedia of Bioethics,
1978, empat jilid, di bawah redaksi Warren Reich.
Ada
yang berpendapat bahwa ensiklopedi itu memainkan peranan penting dalam
menciptakan kesatuan, koherensi, dan arah jelas bagi bioetika sebagai
suatu bidang ilmiah yang baru. Edisi kedua keluar pada tahun 1995 dalam
lima jilid, dengan isi yang 80 persennya baru. L Walters dan TJ Kan
memimpin proyek Bibliography of Bioethics, yang menginventarisasi semua
literatur internasional di bidang bioetika. Dengan mengikuti
perkembangan teknologi informasi, proyek ini kemudian dikomputerasi
lagi. Proyek
khusus dari dua anggota staf adalah buku Beauchamp/Childress, The
Principles of Biomedical Ethics, 1979. Buku ini menjadi buku pegangan
yang paling banyak dipakai dalam dunia berbahasa Inggris di bidang
bioetika. Edisi- edisi berikutnya mengalami banyak revisi. Edisi ke-5
keluar pada tahun 2001. Setelah berdiri 20 tahun, institut ini baru
memiliki majalah ilmiah sendiri: Kennedy Institute of Ethics Journal
(sejak 1991), dan segera menjadi salah satu majalah terkemuka di
bidangnya.
Kennedy Institute bukan lembaga pertama di bidang bioetika. Dua
tahun sebelumnya di Hastings-on-the-Hudson, New York, sudah didirikan
Institute of Society, Ethics, and the Life Sciences (1969) yang kemudian
dikenal dengan nama singkat Hastings Center. Pusat Bioetika ini
didirikan oleh Daniel Callahan, ahli filsafat, dan Willard Gayling,
profesor psikiatri di Universitas Columbia, New York.
Mereka mendirikan lembaga baru ini sebagai "an independent,
nonpartisan, nonprofit organization that addresses fundamental ethical
issues in the areas of health, medicine and the environment". Jadi,
nama dan program inti mereka tidak memakai nama bioetika. Namun, dalam
kenyataan mereka berkecimpung dalam usaha yang tidak lama sesudahnya
dimengerti sebagai bioetika. Dan kadang-kadang mereka memakai istilah
bioetika juga, seperti misalnya Callahan dalam artikelnya yang terkenal
Bioethics as a discipline (1973). Hastings Center ini menerbitkan
Hastings Center Report (sejak 1971) yang berulang kali dipuji sebagai
majalah paling bermutu mengenai bioetika. Di samping itu mereka
menerbitkan juga IRB: A Review of Human Subjects Research, jurnal khusus
untuk komisi-komisi etika penelitian. Dari semula pusat mereka
berstatus independen dan tidak berafiliasi dengan perguruan tinggi,
tetapi mereka banyak membantu sekolah tinggi dan universitas merancang
program- program pengajaran bioetika atau etika profesi.
Globalisasi bioetika
Dengan
demikian, gerakan bioetika lahir di Amerika Serikat. Dua lembaga
perintis di Washington dan New York itu cepat sekali diikuti oleh
pusat-pusat lain di Amerika. Tidak lama kemudian, di luar Amerika
bioetika menarik perhatian. Mulai tumbuh pusat-pusat bioetika di Eropa,
Australia, Amerika Selatan, dan banyak tempat lain lagi. Pada tahun 1985
pusat-pusat Bioetika di Eropa bergabung dalam ikatan kerja sama yang
disebut European Association for Centres of Medical Ethics. Nama ini
merupakan semacam kompromi. Rencana pertama memakai nama bioetika,
tetapi anggota dari Perancis keberatan. Karena itu, disetujui nama yang
lebih tradisional. Namun, tampaknya di Perancis juga kini istilah
bioéthique sudah diterima sebagai biasa saja.
Sementara
itu, globalisasi gerakan bioetika berkembang terus. Tidak bisa
dihindarkan lagi, perlu dibentuk juga suatu organisasi internasional
yang dapat memfasilitasi komunikasi global antara peminat-peminat
bioetika. Hal itu terwujud dengan didirikannya International Association
for Bioethics. Mereka mengadakan kongres perdana di Amsterdam pada
tahun 1992. Sebagai ketua pertama dipilih Peter Singer, ahli bioetika
terkenal dari Australia yang kemudian menjadi profesor di Amerika
Serikat dan Kanada. Singer juga menjadi penggerak dan organisator utama
untuk asosiasi internasional ini. Setiap dua tahun mereka
menyelenggarakan kongres besar. Kongres Dunia yang ke-7 berlangsung di
Sydney, Australia, November 2004. Jurnal resmi mereka berjudul
Bioethics, yang sejak 2001 didampingi oleh Developing World Bioethics,
menyoroti secara khusus masalah bioetika di negara-negara berkembang dan
terbit dua nomor setahun.
Jika
kita memandang gerakan bioetika sebagaimana sudah bergulir sejak
kira-kira 35 tahun ini, ada terutama tiga ciri yang menonjol. Bioetika bersifat interdisipliner, internasional, dan pluralistis. Hal itu dapat dijelaskan lagi sebagai berikut.
Pertama,
interdisiplinaritas sering disebut sebagai cita-cita ilmu pengetahuan,
tetapi dalam kenyataan tidak begitu mudah untuk direalisasikan. Namun,
bioetika dalam hal ini cukup berhasil. Bioetika menjadi semacam "meja
bundar" yang mengumpulkan berbagai ilmu yang menaruh perhatian khusus
untuk masalah kehidupan (bios): ilmu-ilmu biomedis, hukum, teologi,
ilmu-ilmu sosial, tapi tempat utama diduduki oleh ahli-ahli etika
filosofis. Jika kita melihat pusat-pusat bioetika atau forum-forum
bioetika internasional, yang terutama menjadi penggerak dalam dialog
interdisipliner ini adalah para etikawan. Hal itu hanya dimungkinkan
karena etika filosofis sudah lama meninggalkan menara gadingnya dan para
etikawan tentu harus bersedia memasuki betul bidang ilmiah yang mereka
bicarakan, yang kadang-kadang sangat kompleks.
Kedua, internalisasi merupakan suatu ciri yang menandai bioetika sejak permulaannya. Para etikawan Amerika sering pergi ke luar negeri dan menerima tamu dari berbagai bangsa di pusat-pusat bioetika mereka. Ilmu
pengetahuan menurut kodratnya bersifat internasional. Karena itu,
problem-problem etis yang ditimbulkan dalam perkembangan ilmu-ilmu
hayati bersifat internasional pula. Dengan demikian, mudah terjadi globalisasi bioetika yang dilukiskan tadi.
Ketiga,
pluralisme merupakan ciri lain. Dalam dialog sekitar bioetika, sebanyak
mungkin golongan dan pandangan diikutsertakan. Moral keagamaan
didengar, bukan saja moral agama mayoritas, tapi juga moral agama-agama
minoritas (kalau ada). Moral sekuler juga tidak diabaikan. Dialog
bioetika diwarnai keterbukaan dan suasana demokratis. Di negara-negara
yang punya peraturan hukum mengenai masalah kontroversial seperti aborsi
atau eutanasia, sebelum keputusan diambil, diadakan diskusi luas untuk
mendengarkan pendapat semua pihak yang berkepentingan. Akhirnya tercapai
kesepakatan dalam parlemen meski barangkali tidak disetujui beberapa
pihak agama. Namun, sebelumnya mereka sempat mengemukakan pendapatnya.
Dalam demokrasi mau tidak mau harus terjadi demikian.
Kalau ditanyakan lagi mengenai agenda yang dikerjakan bioetika selama ini, barangkali dapat dibedakan tiga wilayah besar.
Pertama,
masalah yang menyangkut hubungan antara para penyedia layanan kesehatan
dan para pasien. Di sini termasuk banyak tema dari etika kedokteran
tradisional. Namun, konteksnya sering berbeda juga karena dalam suasana
modern, diberi tekanan besar pada otonomi pasien. Etika keperawatan bisa mendapat juga tempatnya di sini.
Kedua,
masalah keadilan dalam alokasi layanan kesehatan. Bagi orang sakit,
layanan kesehatan merupakan suatu hak asasi manusia. Kalau di Indonesia
kita menganggap serius keadilan sosial (last but not least dalam urutan
Pancasila), wilayah permasalahan yang kedua ini menjadi sangat penting.
Ketiga,
wilayah paling luas adalah topik-topik etika yang ditimbulkan oleh
kemajuan dramatis dalam ilmu dan teknologi biomedis. Di sini
pertama-tama etika penelitian mendapat tempatnya. Di antara topik-topik
etika yang paling menonjol saat ini boleh disebut masalah kloning,
penelitian tentang sel-sel induk embrio dan banyak persoalan dalam
konteks reproduksi teknologis. Misalnya, boleh kita ciptakan saviour
siblings? Artinya, embrio yang melalui skrining genetik sudah dipastikan
cocok untuk menjadi donor sumsum bagi saudaranya (nanti) yang menderita
leukemia dan diimplantasi dalam rahim ibu semata-mata untuk
menyelamatkan saudaranya yang sakit.
Penutup
Bioetika merupakan bidang ilmiah yang masih muda, tapi secara umum sudah tidak diragukan lagi pentingnya. Implikasi-implikasi
etis dari kemajuan ilmu-ilmu biomedis memang mendesak untuk
dipertimbangkan dengan serius. Tidak mengherankan, ilmu muda ini masih
dalam perkembangan. Batas-batasnya pun kerap kali tidak jelas. Ada yang
mengerti bioetika sebagai bioetika manusiawi saja dan ada yang mengerti
ilmu ini sebagai refleksi etika tentang kehidupan pada umumnya. Hastings
Center, misalnya, memasukkan lingkungan hidup dalam obyek
penelitiannya, sedangkan Kennedy Institute tidak.
Dalam
keadaan sekarang tampak dua lahan garapan untuk bioetika. Di satu pihak
bioetika ditemukan dalam kalangan akademis. Ilmu ini sudah menjadi
obyek pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi. Sudah ada pakar,
pertemuan ilmiah, publikasi, dan sarana- sarana komunikasi ilmiah
lainnya, seperti lazimnya untuk sebuah ilmu dalam konteks akademis. Di
pihak lain bioetika memainkan peranan dalam bidang praktis. Ia diundang
membantu merancang public policy dalam mempersiapkan undang-undang atau
peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan masalah- masalah biomedis.
Ia diajak memberi sumbangan pemikiran dalam komisi etika rumah sakit
atau institusi lainnya atau dalam komisi-komisi nasional dan
internasional tentang masalah-masalah biomedis.
Peranan
praktis bioetika tentu akan lebih berbobot kalau didukung oleh peranan
akademis yang kuat. Di Indonesia sudah tidak dapat dihindarkan, kita
bertemu dengan bioetika di bidang praktis. Namun, bioetika dalam arti
akademis belum mendapat banyak perhatian. Meski demikian, kalau
perguruan tinggi giat mengembangkan ilmu-ilmu biomedis, kita tidak boleh
menutup mata untuk aspek-aspek etisnya. Mempelajari aspek-aspek ini
secara serius, dengan sendirinya berarti terjun dalam bioetika.
0 komentar:
Posting Komentar