Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?
Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut
Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang
masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan
kita bahas bersama. Pertama: Defenisi Nikah Mut’ah.
Kedua: Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam. Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya. Keempat:
Hadis-hadis yang menegaskan disyari’atkannya. Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah yang mengharamkannya.
Difinisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di
bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan
difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum
(ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah
nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka
waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika
waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa
talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa
iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin
dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah
ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah
saw.”[1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as.
adalah seperti difinisi di atas. Nikah Mut’ah Telah Disyari’atkan
Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah
disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im
(permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa
terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan
disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal
dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah
telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi
perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?
Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap
(terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .”
[2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu
an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw.
akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi
wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah
perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya)
bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi
pada akhir urusan.” [3]
Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah
diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya
dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat
sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang
berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn
Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ
مُسَمَّى .” [4]
Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah
mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu
ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu
dimansukhkan… .” [5]
Ayat Tantang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah
Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً … (النساء:24)
“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi
dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka
itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah
yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua
pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan
nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat[6].
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan
disyari’atkannya nikah tersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in
seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as
Suddi membacanya:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ – إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka
waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan
tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan
mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu
Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang
tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh
seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah
Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya
dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca
dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang
menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.
Catatan:
Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT
berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan
sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus
mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT
menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah
mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat
itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak
sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan
dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam
bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah
mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat
tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung
nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas
menerangkan hukum nikah Mut’ah!
Klaim Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para
ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu
walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia
telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah
menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah
(yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan
ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما
مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/
dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama,
hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah
ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir
ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia
sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai
pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari
keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri
yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah
Mut’ah.
Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh)
berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah
(ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah).
Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah
dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat
yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti,
seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari
menukil Ibnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu
muhkam (tidak mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu
Uyainah.
Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah
permanen dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at
Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak
sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya
saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah
Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu
tidak benar. Sebab:
1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat
إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan
riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah
memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini
semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah
itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh
seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam
pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah
nikah!
2. Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An
Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa
akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh
para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti
bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar
mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang
pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan
ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata
أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Ayat Kedua dan Ketiga:
Allah SWT berfirman:
وَلَكُمْ نِصْفُ ما تَرَكَ أَزْواجُكُمْ. (النساء:12)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12)
Dan
وَ إِذا طَلَّقْتُمُ النِساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ. (الطلاق:1)
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).”
(QS65;1)
Keterangan:
Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri
itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak
mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali
pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang
istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa
talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban
nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut
sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri! Tanggapan
Atas Syubhat di Atas
1. Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang
diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim
disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras
jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela,
dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan.
Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat
sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan
tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di
atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian
atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan
sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia
mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu
tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan
iddah.
2. Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda
dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah
disebutkan jangka waktu tertentu.
3. Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada
sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman
semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad
(yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat
Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.
4. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad
nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar
karena:
A. Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya
dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada
pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri
namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang
berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri
yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang
laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum
sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut
berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas
wanita itu berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam-
ia tidak mewarisi suaminya.
B. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat
Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin
yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!
5. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada
keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak
tepat, sebab:
A. Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap
berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at
Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak
mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah.
Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab.
B. Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya
gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati
antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
6. Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti
janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari
suami sebelumnya = tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri.
anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita
yang telah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan
disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam
fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya
adalah dua kali masa haidh.
7. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah
dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al
qur’an ditetapkan hukum perceraian bagi suami istri yang hendak
berpisah. Maka hal itu tidak benar, sebab:
A. Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang
istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian,
seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia
seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang
masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga
ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak
istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang
terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad
nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan ….
Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya
tanpa melalui proses talak?!
B. Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti
selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa
berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si
wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi
pernikahan tersebut.
C. Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah
yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa
Islam.
Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang
diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan
dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’). Dalil Sunnah
Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah
disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu
apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan
“Imraan ibn Hushain” yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan
dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkam (berlaku) tidak
dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya. Selain
riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain seperti Jabir
ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka
oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya
juga menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang
pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah
banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.
Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia
mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap
disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada
sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah
disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah
tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan
beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan
dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum
nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang
dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.
Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya
pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan
tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat
mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka,
sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan
juga centang perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya
yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang
tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah
ada hukum Allah SWT yang mengharamannya.
Hadis Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata:
“Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami
tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah,
bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya
lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas
kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah membacakan ayat:
يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ
اللهُ لَكُمْ وَ لاَ تَعْتَدُوا، إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المعْتَدِيِنَ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.(QS:5;87)“
Hadis di atas dapat Anda temukan dalam:
1. Shahih Bukhari:
· Kitabut tafsir, bab Qauluhu Ta’ala يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ .[7]
·Kitabun Nikah, bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’.[8]
2. Shahih Muslim:
· Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah[9]
Ketika menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata ‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan
mahar (emas kawin) sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah
mut’ah… .” Ia juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu
Mas’ud adalah isyarat kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah
mut’ah, seperti juga Ibnu Abbas. Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah
dan Salamah ibn al-Akwa’ ra.
A. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari
Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan)
Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah
mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Hadis di atas dapat Anda baca dalam:
1. Shahih Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah
al-Mut’ah ‘Akhiran.[10] 2. Shahih Muslim: Kitabun Nikah, bab Nikah
al-Mut’ah.[11]
B. Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya
Rasulullah saw. datang menemui kami dan mengizinkan kami untuk
bermut’ah.[12]
Hadis Ketiga: Hadis Jabir ibnAbdillah:
A. Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di
tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah,
kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami
bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.”[13]
B. Dari Abu Bashrah, ia berkata:
“Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ”
Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir
berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar
melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya)
lagi.”[14]
C. Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung
untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu
Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[15] Ibnu
Jakfari berkata:
Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di
masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah
bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia
hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.)
melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau
membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT
ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada
pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga
hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari
kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali
jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan
ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama
Islam.
Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa
para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi
saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa
kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan
hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagainama mungkin
pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari
mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara
pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah
ibn Zubair atau yang lainnya?!
Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak
diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah
mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di
masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai
Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya
berita pemansukhan.”[16]
Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan
pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena
kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT
dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits.
Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa
dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau
menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!
Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang
mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan
sayalah hadis ini berputar, kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan
Abu Bakar ra. dan ketika Umar menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di
hadapan orang-orang, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw.
adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an adalah Alqur’an ini. Dan
sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah saw.,
tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah
satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang
menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan
bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji
dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan
umrah kamu.”[17]
Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak
hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah
disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.
Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah
Setelah kita simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya
hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan
beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki
bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah
-dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang
tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan
kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi.
Dan sebagiannya hanya berlangsung beberapa hari saja.[18]
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul
Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma
Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah
mut’ah dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian
dibolehkan kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari
kiamat)”.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok
ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan
kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia
dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya
dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar
kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya
setelah tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi
berkata: “Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh
sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang
Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan
setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya
kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis
masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan
pengharaman sebanyak tujuh kali…”.[20]
Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan
dan pengharaman nikah mut’ah tersebut yang terbilang aneh yang
tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan
ini diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang
mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat
dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus
dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat
kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,
pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun
matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis
kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab
pencacatan para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan
apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran
serta beban penelitian yang harus dipikul.
Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun
pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia
diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan
Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para
khulafa’.
Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas
kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar
dan ulama.
Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir
Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab
al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali
(Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu
Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan
menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah
melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan Khaibar dan juga
mengharamkan daging keledai jinak.” [21]
Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam
redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu
Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.[22] Hadis kedua:
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk kami
para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian
setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
“Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang
berperang.” [23]
Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan
lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah
al-Juhani, sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan
kota Mekkah. Ia berkata,
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang),
maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah
mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki
kelebihan ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing
kami membawa selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru,
sampailah kami dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa
dengan seorang wanita tinggi semanpai dan lincah, kami berkata
kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah seeoarng dari
kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai
mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu
memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya
dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek
sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut
orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya
menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka
waktuku melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]
Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia!
Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya
Allah telah mengharamkannya sekarang hingga hari kiamat.” [25]
Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara
rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di
atas)”. [26]
Dalam riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun
penaklukan kota Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami
tidak keluar darinya melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa
Rasulullah saw. dengan seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar
dua helai selimut berwarna merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami
bermut’ah”. [28]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada Fathu Makkah”.[29]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah,
beliau bersabda, “Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari
kiamat”. [30]
Dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’
ibn Saburah, ia berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan
hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]
Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32] Hadis Keempat:
Dalam Shahih Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan
lainya (dan redaksi yang saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan
dari Salamah ibn al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada
tahun perang Awthas untuk bermut’ah selama tiga hari kemudian beliau
melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di kota Thaif. Dan perlu Anda
ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa bulan setelah fathu
Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama.[34]
Inilah beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat
pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw. dan saya berusaha
meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya. Dan kini mari kita telaah
hadis-hadis di atas tersebut.
Tentang hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang
diriwayatkan Zuhri melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan
putra Muhammad ibn Ali as. yang mendapat sambutan luar biasa sehingga
hampir semua kitab [35] hadis berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya,
-tidak seperti biasanya dimana kitab- kitab itu kurang antusias dalam
meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as. dan tidak memberikan porsi
layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi yang diberikan kepada
riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan beliau dan yang
diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw.-.
Adapun tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentangnya.
Pertama,
ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah
bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun
124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul
Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia
dipercaya Hisyam menjadi guru privat putra-putra istana. Ibnu Hajar
dalam kitab Tahdzib-nya[36]menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk
mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus
hadis”.
Tampaknya Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung
kepentingan rezim bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan
riwayat-riwayat yang berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun
justru dia sajikan dengan menyebut nama para pemuka Ahlulbait as.
sendiri, atau riwayat-riwayat yang justru melecehkan keagungan Ahlulbait
as., namun sekali lagi ia sajikan dengan mengatas-namakan
pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya melalui riwayat
yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan tindakan
kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih
spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang
dikenal benci kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai
seorang muhaddis yang sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat
dari Ali as.
Ibnu Abi al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang
membenci Imam Ali as, ia menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang
menyimpang dari Ali as”.[37]
Sufyan bin Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis
untuk kepentingan Bani Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as.
Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari dua jalur sebuah berita yang menyebutkan
bahwa Zuhri pernah membunuh seorang budaknya tanpa alasan yang
dibenarkan.[38] Kedua,
terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai
perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada
beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis
tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas
ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah
mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan
Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat
itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa
tersebut.
Di sini kita perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena
yang terkait dengan masalah kita sekarang adalah nikah mut’ah maka
telaah saya akan saya batasi pada pengharaman nikah mut’ah pada hari
Khaibar.
Pengharaman nikah Mut’ah pada hari Khaibar
Pengharaman Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar,
seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim,
Ibnu Hajar dkk. tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa
tahun setelah itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti
contoh pada tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian
menuduh Imam Ali as. bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau
menegur Ibnu Abbas dengan teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka
semestinya Imam Ali as. berhujjah atas Ibnu Abbas dengan pengharaman
terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar hujjah sempurna, dan
kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39].
Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak
seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita
yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk
melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak
ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang
wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara
dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia
baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah
al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad.[40]
Ketika menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab
Ghazwah Khaibar, Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari
Khaibar bukan menunjukkan tempat bagi diharamkannya nikah mut’ah, sebab
dalam ghazwah (peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”.[41]
Ibn Hajar juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait
dengan hadis ini ada peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam
hadis itu ditegaskan bahwa larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan
Khaibar, dan ini sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama
pakar sejarah dan perawi atsar/data sejarah.[42]
Al-hasil, hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada
peristiwa Khaibar Nabi mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu
Hajar berkomentar, “Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada
zaman Khaibar adalah menunjuk waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan
daging keledai)”[43], sementara sejarah membuktikan bahwa pada peristiwa
itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman, sehingga untuk menyelamatkan
wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu sebuah solusi yang
mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan pengharaman
keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya hadis itu tidak
menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!
Penafsiran nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia
berkata, “Kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait
dengan waktu pengharaman keledai jinak bukan terkait dengan nikah
mut’ah.”[44]
Dan upaya untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan
pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian
ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang
mengatakan bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah
zaman Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar.[45]
Akan tetapi arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih mirip lelucon, sebab;
A. Dalam dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”
maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.
Bukan bahwa dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati
‘Amr saja, sementara terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan,
penghormatan itu mungkin Anda berikan pada hari lain. Sebab jika itu
maksud Anda semestinya Anda mengatakan
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و أَكْرَمْتُ عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.
Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh
karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan
setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti
kaidah dasar bahasa Arab ini.
B. Anggapan itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as.
dan juga dari Ibnu Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti
Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa
waktu pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka
meriwayatkan:
نَهَى رسولُ اللهِ (ص) عن مُتْعَةِ النساءيَومَ خيْبَر، و عن لُحُومِ الحمرِ الإنْسِيَّةِ.
“Rasulullah saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging keledai”. [46]
Ibnu Jakfari berkata:
Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu
baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah
datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato
mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi
saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang
melakukan nikahnya:
مُتْعَتانِ كانَتَا على عَهْدِ رَسُول ِاللهِ أنا أَنْهَى عَنْهُما وَ أُعاقِبُ عليهِما : مُتْعَةُ الحج و متعة النِّسَاءِ.
“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw.,
aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan)
keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah.[47]
Bagaiamana dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita
membaca bahwa Jabir ibn Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami
bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.”[48]
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas
kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa
hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya
kerena kasus Amr ibn Huraits.”[49]
Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan
bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau
sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak
juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in
mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair
-setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum
Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya
pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung
pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa
baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti
sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan
nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir,
misalnya.
Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan
pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil
bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada
peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin
hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa
beliau bersabda:
,لَوْ لاَ أَنَّ عُمر نَهَى الناسَ عَنِ المُتْعَةِ ما زَنَى إلاَّ شَقِيٌّ.
“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah
pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian
disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]
Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:
لَوْ لا ما سَبَقَ مِنْ نَهْيِ عُمر بن الخطاب لأَمَرْتُ بالمُنْعَةِ، ثُمَّ ما زنى إلا شقي
“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah
pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan
zina kecuali orang yang celaka”. [51]
Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali
as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas
adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya
nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari
Abdullah ibn Zubair pembrontak yang berhasil berkuasa setelah kematian
Yazid?
Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima
kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus
saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnya nikah mut’ah? Adapun
dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat
dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal
mengelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap
hingga akhir hayatnya meyakni kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya
sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:
ما كانَتْ المُتْعَةُ إلاَّ رَحْمَةً رَحِمَ اللهُ بِها أُمَّةَ محمد (ص)، لَوْ لاَ نَهْيُهُ (عمر) ما احْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقِي
Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat
Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan
zina kecuali seorang yang celaka. [52].
Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara
seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini
kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru
besar mereka?!
Telaah terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah
Adapun tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini.
Pertama,
seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari
riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah
adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya;
Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah
ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya,
Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di
dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu
riwayat dengan lainnya.
Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A. Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan
wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah
temannya.
B. Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah
temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak
pamannya.
C. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan
kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat
lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.
D. Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya
karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan
karena selimut ayahnya masih baru.
E. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama
wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw.
sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan
harinya telah dilarang.
F. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari
pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau
dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu
setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa
wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu,
kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita
yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat
disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah,
seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah,
atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita
kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.
Kedua,
disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi-
mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam
riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk
bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia
langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari
itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya
ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan
nikah mut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk
melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT
berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan
dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan
kenyataan ini?!
Ketiga,
terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya
mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan
nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang
penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.
Keempat,
riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para
sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu
Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.
Catatan Penting!
Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya
Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya
belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw.
bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para
sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan
menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw.
hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar
menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu
sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.
Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya,
Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah.
Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah
saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat
menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi
semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya,
“Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku
berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku
tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut
temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku.
Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya
selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di
sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia
biarkan ia pergi/tinggalkan”.[53]
Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun
hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua
sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu
Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia
baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara
pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis
selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati
dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam
memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan
pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan
agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas
tahun terpasung.
Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan
memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena
memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua
para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat
merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun
beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis
atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling
berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan
terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan
simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al
Suyuthi. (bersambung)————–***————–
CATATAN KAKI
[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an
Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah
mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata
rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12] Ibdi.183.
[13] Ibid.183.
[14] Ibdi.184.
[15] Ibid.183-184.
[16] Ibid.183.
[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206
dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur
lain dari Hummam.
[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab
Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan
al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab
Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’
al-Zawaid.4,265.
[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu
Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan
Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un
Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan
al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi
Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah,
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an
Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam
Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam
baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih Muslim.9,185.
[25] Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27] Ibid.187.
[28] Ibdi.188-189.
[29] Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.
[36] 9,449.
[37]Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i
tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian
pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu
Hajar.
[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43] Ibid.201.
[44] Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih,
bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma
Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu
Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan
Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di
sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn
mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran,
maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah
bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar
riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak
tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil
banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50,
Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam
Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan
telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182
dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj,
bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu
Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293
dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan
al-Baihaqi.7,206.
[48] Ibid.183.
[49] Ibid.183-184.
[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz al-Ummal.8,294.
[52] Dan dalam sebagian riwayat إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai
ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan
Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam
Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.
0 komentar:
Posting Komentar