Sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan mengikuti Kitab dan
Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Tapi kita tidak mungkin
mendengar sunnah dan pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad
(rantai para rawi). Dan sanad termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari
siapa kalian mengambil Dien kalian. Sedangkan yang paling mengerti
tentang sanad adalah Ahlul Hadits. Maka dalam tulisan ini kita akan
lihat betapa tingginya kedudukan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا
فَبَلَّغَهُ ﴿رواه أحمد وأبو داود والترمذي وغيرهم وصححه الألباني﴾ “
Allah membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) dari kami,
kemudian menyampaikan nya. ” (Hadits Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud)
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: “Hadits ini
adalah SHAHIH, diriwayatkan oleh: Imam Ahmad dalam Musnad 5 /183 ,
Imam Abu Dawud dalam As-Sunan 3 / 322 , Imam Tirmidzi dalam As-Sunan 5 /
33 , Imam Ibnu Majah dalam As-Sunan 1 /84 , Imam Ad-Darimi dalam
As-Sunan 1 /86 , Imam Ibnu Abi Ashim dalam As- Sunan 1 /45 , Ibnu Abdil
Barr dalam Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 1 /38-39 , lihat As-Shahihah
oleh Al-’Allamah Al-Albani (404) yang diriwayatkan dari banyak jalan
sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin Muth’im, dan Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu ‘anhum.” Hadits ini dinukil oleh beliau (Syaikh
Rabi’) dalam kitab kecil yang berjudul Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan
Ahlul Hadits), yaitu ketika menukil ucapan Imam besar Abu Bakar Ahmad
bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dari kitabnya Syarafu
Ashabil Hadits yang artinya “Kemuliaan Ashabul Hadits.” Dalam kitab
tersebut, beliau menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat Ahlul
Hadits. Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan
usaha mereka dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai
macam bid’ah. Di antara pujian beliau kepada mereka, beliau
mengatakan: “Sungguh Allah telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits)
sebagai tonggak syari’at. Melalui usaha mereka, Dia (Allah)
menghancurkan setiap keburukan bid’ah. Merekalah kepercayaan Allah di
antara makhluk- makhluk-Nya, sebagai perantara antara Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dan umatnya. Dan merekalah yang bersungguh-sungguh
dalam menjaga millah (Dien)-Nya. Cahaya mereka terang, keutamaan
mereka merata, tanda-tanda mereka jelas, madzhab mereka unggul, hujjah
mereka tegas…. ” Setelah mengutip hadits di atas, Al- Khatib
rahimahullah menukil ucapan Sufyan bin Uyainah rahimahullah dengan
sanadnya bahwa dia mengatakan: “Tidak seorangpun mencari hadits
(mempelajari hadits) kecuali pada mukanya ada kecerahan karena ucapan
Nabi shallallahu alaihi wa sallam: (kemudian menyebutkan hadits di
atas). Kemudian, setelah meriwayatkan hadits-hadits tentang wasiat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk memuliakan Ashabul Hadits,
beliau meriwayatkan hadits berikut: بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا
وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ ﴿رواه مسلم وأحمد
والترمذي وابن ماجه والدارمي﴾ “Islam dimulai dengan keasingan dan akan
kembali asing, maka berbahagialah orang-orang yang ( dianggap) asing.”
(HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah) Syaikh Rabi’ berkata:
“Hadits ini SHAHIH. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya 1
/130 , Imam Ahmad dalam Musnadnya 1 /398 , Imam Tirmidzi dalam
Sunannya 5 /19 , Imam Ibnu Majah dalam Sunnahnya 2 /1319 , dan Imam
Ad-Darimi dalam Sunannya 2 / 402. ” Setelah meriwayatkan hadits ini, Al-
Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari Abu Hurairah dan Ibnu
Mas’ud radhiallahu anhu: “Mereka adalah Ashabul Hadits yang pertama.”
Kemudian meriwayatkan hadits: “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh
sekian firqah, semuanya dalam neraka kecuali satu.” Syaikh Rabi’
berkata: “Hadits SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2
/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4 /197 , dan Hakim dalam Mustadrak 1
/128. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh kita, Al-’Allamah Al-Albani (
203). ” Beliau (Al-Khatib) kemudian mengucapkan dengan sanadnya sampai
ke Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa dia berkata: “ Tentang
golongan yang selamat, kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu
siapa mereka.” (Hal 13, Syarafu Ashhabil Hadits oleh Al-Khatib).
Kemudian Syaikh Al-Khatib menyebutkan hadits tentang thaifah yang
selalu tegak dengan kebenaran: “Akan tetap ada sekelompok dari umatku
di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang-orang yang mengacuhkan
(membiarkan, tidak menolong) mereka sampai datangnya hari kiamat.”
(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud) Syaikh Rabi’ berkata: “Hadits ini
SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya 3 /1523 , Imam
Ahmad dalam Musnad 5 / 278-279 , Imam Abu Dawud dalam Sunan 4 /420 ,
Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1 /4-5 , Hakim dalam Mustadrak 4 / 449-450
, Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 7643, dan At-Thayalisi dalam Musnad
hal. 94 No. 689. Lihat As-Shahihah oleh Al-’Allamah Al-Albani
270-1955. ” Kemudian berkata (Al-Khatib Al- Baghdadi): Yazid bin Harun
berkata: “ Kalau mereka bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa
mereka.” Setelah itu, beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai
kepada Abdullah bin Mubarak, dia berkata: “Mereka, menurutku, adalah
Ashabul Hadits.” Kemudian meriwayatkan juga dengan sanadnya dari Imam
Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa mereka berkata:
“Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, ahli Ilmu, dan Atsar.” (
Hal. 14-15) Demikianlah, para ulama mengatakan bahwa Firqah Najiyah
(golongan yang selamat) yaitu golongan yang selalu tegak dengan
kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah Manshurah), yaitu orang-orang
yang asing (Ghuraba’) di tengah-tengah kaum muslimin yang sudah
tercemar dengan berbagai macam bid’ah dan penyelewengan dari manhaj
As-Sunnah adalah Ashabul Hadits. Siapakah Ashabul Hadits? Hadits yang
pertama yang kita sebut menunjukkan ciri khas Ashabul Hadits, yaitu
mendengarkan hadits dan menyampaikannya. Dengan demikian, mereka bisa
kita katakan sebagai para ulama yang mempelajari hadits, memahami
sanad, meneliti mana yang shahih mana yang dhaif, kemudian
mengamalkannya dan menyampaikannya. Merekalah pembela-pembela
As-Sunnah, pemelihara Dien dan pewaris Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Rasulullah tidak mewariskan dirham atau dinar, tetapi
mewariskan ilmu yang kemudian dibawa oleh Ahlul Hadits ini. Seorang
Ahli Fiqih tanpa ilmu hadits adalah Aqlani (rasionalis) dan Ahli Tafsir
tanpa ilmu hadits adalah Ahli Takwil. Imam Abu Muhammad Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah (wafat 276 H) berkata: “… Adapun Ashabul Hadits,
sesungguhnya mereka mencari kebenaran dari sisi yang benar dan
mengikutinya dari tempatnya. Mereka mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya serta mencari
jejak-jejak dan berita-beritanya (Hadits, red.), baik itu di darat dan
di laut, di Timur maupun di Barat. Salah seorang dari mereka (bahkan)
mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki hanya untuk mencari
satu berita atau satu hadits, agar dia mengambilnya langsung dari
penukilnya (secara dialog langsung). Mereka terus menyaring dan
membahas berita-berita (riwayat- riwayat) tersebut sampai mereka
memahami mana yang shahih dan mana yang lemah, yang nasikh dan yang
mansukh, dan mengetahui siapa- siapa dari kalangan fuqaha yang
menyelisihi berita-berita tersebut dengan pendapatnya (ra’yunya), lalu
memperingatkan mereka. Dengan demikian, Al-Haq yang tadinya redup
menjadi bercahaya, yang tadinya bercerai-berai menjadi terkumpul.
Demikian pula, orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah menjadi
terikat dengannya, yang tadinya lalai menjadi ingat padanya, dan yang
dulunya berhukum dengan ucapan fulan bin fulan menjadi berhukum dengan
ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Ta’wil Mukhtalafil
Hadits dalam Muqaddimah) Imam Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban bin Muadz
bin Ma’bad bin Said At-Tamimi (wafat 354 H) berkata: “ …Kemudian Allah
memilih sekelompok manusia dari kalangan pengikut jalan yang baik
dalam mengikuti sunnah dan atsar untuk memberi petunjuk kepada mereka
agar selalu taat kepada-Nya. Allah indahkan hati-hati mereka dengan
keimanan, dan memberikan pada lisan-lisan mereka Al-Bayan (
keterangan), yaitu mereka yang menyingkap rambu-rambu Dien-Nya,
mengikuti sunnah-sunnah nabi-Nya dengan menelusuri jalan-jalan yang
panjang, meninggalkan keluarga dan negerinya, untuk mengumpulkan
sunnah-sunnah dan menolak hawa nafsu (bid’ah). Mereka memperdalam
sunnah dengan menjauhi ra’yu …” Pada akhirnya, beliau mengatakan: “
Hingga Allah memelihara Dien ini lewat mereka untuk kaum muslimin dan
melindunginya dari rongrongan para pencela. Allah menjadikan mereka
sebagai imam-imam (panutan- panutan) yang mendapatkan petunjuk di saat
terjadi perselisihan dan menjadikan mereka sebagai pelita malam di
kala terjadi fitnah. Maka merekalah pewaris-pewaris para nabi dan
orang-orang pilihan…” (Al-Ihsan 1/ 20-23) Imam Abu Muhammad Al-Hasan
Ibnu Abdurrahman bin Khalad Ar- Ramhurmuzi (wafat 360 H) berkata: “
Allah telah memuliakan hadits dan memuliakan golongannya (Ahlul
Hadits). Allah juga meninggikan kedudukannya dan hukumnya di atas
seluruh aliran. Didahulukannya ia ( hadits) di atas semua ilmu serta
diangkatnya nama-nama para pembawanya yang memperhatikannya. Maka
jadilah mereka (Ahlul Hadits) inti agama dan tempat bercahayanya
hujjah. Bagaimana mereka tidak mendapatkan keutamaan dan tidak berhak
mendapatkan kedudukan tinggi, sedangkan mereka adalah penjaga- penjaga
Dien ini atas umatnya…” (Al- Muhadditsul Fashil 1-4) Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi (wafat 405) berkata
setelah meriwayatkan dengan sanadnya dua ucapan tentang Ahlul Hadits
(yang artinya): Umar bin Hafs bin Gayyats berkata: Aku mendengar
ayahku ketika dikatakan kepadanya: “Tidaklah engkau melihat Ashabul
Hadits dan apa yang ada pada mereka?” Dia berkata: “Mereka sebaik- baik
penduduk bumi.” Dan riwayat dari Abu Bakar bin Ayyasy: “Sungguh aku
berharap Ahli Hadits adalah sebaik-baik manusia.” Kemudian beliau (Abu
Abdullah Al-Hakim) berkata: “Keduanya telah benar bahwa Ashabul Hadits
adalah sebaik-baik manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah
mengorbankan dunia seluruhnya di belakang mereka. Kemudian menjadikan
penulisan sebagai makanan mereka, penelitian sebagai hidangan mereka,
mengulang-ulang sebagai istirahat mereka…” Dan akhirnya beliau
mengatakan: “Maka akal-akal mereka dipenuhi dengan kelezatan kepada
sunnah. Hati-hati mereka diramaikan dengan keridhaan dalam segala
keadaan. Kebahagiaan mereka adalah mempelajari sunnah. Hobi mereka
adalah majelis-majelis ilmu. Saudara mereka adalah seluruh Ahlus
Sunnah dan musuh mereka adalah seluruh Ahlul Ilhad dan Ahlul Bid’ah.”
(Ma’rifatu Ulumul Hadits 1-4) Berkata Syaikh Rabi’ bin Hadi Al- Madkhali
tentang Ashabul Hadits: “ Mereka adalah orang-orang yang menjalani
manhaj para shahabat dan tabi’in, yang mengikuti mereka dengan ihsan
dalam berpegang dengan Kitab dan Sunnah, dan menggigit keduanya dengan
geraham mereka, mendahulukan keduanya di atas semua ucapan dan
petunjuk, apakah itu dalam masalah akidah, ibadah, mu’ amalah, akhlak,
politik, ataukah sosial. Oleh sebab itu, mereka adalah orang- orang yang
mantap dalam dasar-dasar dan cabang-cabang Dien ini, sesuai dengan
apa yang Allah turunkan dan wahyukan kepada Rasul-Nya shallallahu
alaihi wa sallam dan para hamba-Nya. Mereka tegak dalam dakwah,
mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh dan jujur dengan
tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dan membersihkannya dari penyelewengan orang-orang
yang melampaui batas, dari kedustaan-kedustaan orang-orang bathil dan
dari takwil-takwilnya orang- orang bodoh. Oleh karena itu, mereka
selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng
dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah,
Murji’ah, Qadariyyah, dan setiap firqah yang menyempal dari manhaj
Allah di setiap zaman dan di setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan
celaan orang- orang yang mencela…” Beliau pun akhirnya menyebut mereka
sebagai golongan yang selamat ( Firqah Najiyah) yang selalu tegak
dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (
Thaifah Manshurah) kemudian berkata: “Mereka, setelah shahabat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dengan pimpinan mereka Al-Khulafa’ur
Rasyidin, adalah para tabi’in. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah:
Pembelaan Mereka terhadap Aqidah Sebagaimana telah disebutkan di atas,
mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam. Mereka membelanya dan membersihkannya dari penyelewengan,
kedustaan, dan takwil-takwil Ahli Bid’ah. Maka, ketika muncul Ahli
Bid’ah yang pertama yaitu Khawarij, Ali radhiallahu anhu dan para
shahabat bangkit membantah mereka, kemudian memerangi mereka dan
mengambil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam riwayat-riwayat
yang menyuruh untuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh
mereka adalah sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah. (Lihat
Mawaqifus Shahabah fil Fitnah Bab 3 juz 2 hal 191 oleh Dr Muhammad
Ahmazun) Ketika Syiah muncul, Ali radhiallahu anhu mencambuk
orang-orang yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan
Umar dengan delapan puluh kali cambukan. Dan orang-orang ekstrim dari
kalangan mereka yang mengangkat Ali sampai ke tingkat Uluhiyyah
(ketuhanan), dibakar dengan api. (lihat Fatawa Syaikhul Islam) Demikian
pula ketika sampai kepada Abdullah bin Umar radhiallahu anhu berita
tentang suatu kaum yang menafikan (menolak) takdir dan mengatakan
bahwa menurut mereka perkara ini terjadi begitu saja ( kebetulan),
beliau mengatakan kepada pembawa berita tersebut: “Jika engkau bertemu
mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara`) dari
mereka dan mereka berlepas diri dariku! Demi yang jiwaku ada di
tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung Uhud,
kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah tidak akan menerima
daripadanya sampai dia beriman dengan taqdir baik dan buruknya.” (HR.
Muslim 1/36) Imam Malik pun ketika ditanya tentang orang yang
mengatakan bahwa Al- Qur`an itu makhluk, maka beliau berkata: “Dia
menurut pendapat adalah kafir, bunuhlah dia!” Juga Ibnul Mubarak,
Al-Laits bin Sa’d, Ibnu Uyainah, Hasyim, Ali bin Ashim, Hafs bin Gayats
maupun Waqi bin Jarrah sependapat dengannya. Pendapat yang seperti ini
juga diriwayatkan dari Imam Tsauri, Wahab bin Jarir dan Yazid bin
Harun. (Mereka semua mengatakan): orang-orang itu diminta untuk taubat.
Kalau tidak mau, dipenggal kepala mereka. (Syarah Ushul I’tikad 494,
Khalqu Af’alil Ibad hal 25, Asy’ariyah oleh Al-Ajuri hal 79 , dan
Syarhus Sunnah/Al-Baghawi 1 /187) Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi,
shahabat Imam Syafi’i, berkata: “Ketika Haf Al- Fardi mengajak bicara
Imam Syafi’i dan dia mengatakan Al-Qur`an itu makhluk, maka Imam berkata
kepadanya: ‘ engkau telah kafir kepada Allah yang maha Agung.” Imam
Malik pernah ditanya tentang bagaimana istiwa` Allah di atas
‘Arsy-Nya, maka dia mengatakan: “Istiwa` sudah diketahui ( maknanya),
sedangkan bagaimananya tidak diketahui. Dan pertanyaan tentang itu
adalah bid’ah dan aku tidak melihatmu kecuali Ahli Bid’ah!” Kemudian
(orang yang bertanya itu) diperintahkan untuk keluar dan beliau
menegaskan bahwa sesungguhnya Allah itu di langit. Dan beliau juga
pernah mengeluarkan seseorang dari majelisnya karena dia seorang
Murji’ah. (Syarah Ushul I’tiqad 664) Said bin Amir berkata:
“Al-Jahmiyyah lebih jelek ucapannya daripada Yahudi dan Nasrani.
Yahudi dan Nasrani dan seluruh penganut agama (samawi) telah sepakat
bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala di atas Arsy-Nya, tapi mereka
(Al-Jahmiyyah) mengatakan tidak ada sesuatu pun di atas Arsy.” (Khalqu
Af’ alil Ibad hal 15) Ibnul Mubarak berkata: “Kami tidak mengatakan
seperti ucapan Jahmiyyah bahwa Dia (Allah) itu di bumi. Tetapi ( kami
katakan) Allah di atas Arsy-Nya beristiwa.” Ketika ditanyakan
kepadanya: “Bagaimana kita mengenali Rabb kita?” Beliau berkata: “Di
atas Arsy… Sesungguhnya kami bisa mengkisahkan ucapan Yahudi dan
Nasrani, tapi kami tidak mampu untuk mengkisahkan ucapan Jahmiyyah.” (
Khalqu Af’alil Ibad/Bukhari hal 15, As- Sunnah/Abdullah bin Ahmad bin
Hambal 1 /111 dan Radd Alal Jahmiyyah/Ad-Darimi hal. 21 dan 184) Imam
Bukhari berkata: “Aku telah melihat ucapan Yahudi, Nasrani dan
Majusi. Tetapi aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran
selain mereka (Jahmiyah) dan sesungguhnya aku menganggap bodoh siapa
yang tidak mengkafirkan mereka kecuali yang tidak mengetahui kekufuran
mereka.” (Khalqu Af’alil Ibad hal 19) Dikeluarkan oleh Baihaqi dengan
sanad yang baik dari Al-Auza’i bahwa dia berkata: “Kami dan seluruh
tabi’in mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arsy-Nya dan kami
beriman dengan sifat-sifat yang diriwayatkan dalam sunnah.” Abul
Qasim menyebutkan sanadnya sampai ke Muhammad bin Hasan As-Syaibani
bahwa dia berkata: “Seluruh fuqaha ( ulama) di timur dan di barat telah
sepakat atas keimanan kepada Al- Qur`an dan Al-Hadits yang dibawa oleh
rawi-rawi yang tsiqah (terpercaya) dari Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam tentang sifat-sifat Rabb Subhanahu wa Ta’ala tanpa tasybih (
penyerupaan) dan tanpa tafsir (takwil). Barangsiapa menafsirkan
sesuatu daripadanya dan mengucapkan seperti ucapan Jahm (bin Sufyan),
maka dia telah keluar dari apa yang ada di atasnya Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya, dan dia telah
memisahkan diri dari Al-Jama’ ah karena telah mensifati Allah dengan
sifat yang tidak ada.” (Syarah Ushul I’ tiqad Ahlus Sunnah 740)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaqib Syafi’i dari Yunus bin
Abdul A’ la: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Allah memiliki
nama-nama dan sifat-sifat yang tidak seorangpun bisa menolaknya.
Barangsiapa yang menyelisihinya setelah tetap (jelas) baginya hujjah,
maka dia telah kafir. Adapun jika (menyelisihinya) sebelum tegaknya
hujjah, maka dia dimaklumi karena bodoh. Karena ilmu tentangnya tidak
bisa dicapai dengan akal dan mimpi. Tidak pula dengan pemikiran. Oleh
sebab itu, kami menetapkan sifat- sifat ini dan menafikan tasybih
sebagaimana Allah menafikan dari dirinya sendiri.” (Lihat Fathul Bari
13/ 406-407) Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi berkata setelah
meriwayatkan hadits tentang Allah menerima sedekah dengan tangan
kanannya (muttafaqun alaih), katanya: “Tidak hanya satu dari Ahli Ilmu
(ulama) yang telah berkata tentang hadits ini dan yang mirip dengan
ini dari riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah seperti turunnya
Allah tabaraka wa Ta’ala setiap malam ke langit dunia. Mereka semuanya
mengatakan: Telah tetap riwayat- riwayat tentangnya, diimani
dengannya, tidak menduga-duga dan tidak mengatakan “bagaimana”.
Demikian pula ucapan seluruh ahli ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.” Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan
membela aqidah ini yang bersumber dari Al- Qur`an dan Sunnah. Al-Khatib
Al- Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin
Dawud Al- Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah
kepercayaan-kepercayaan Allah atas Dien-Nya dan penjaga-penjaga
sunnah nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal. Ditegaskan oleh
Imam Ats- Tsauri rahimahullah: “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit
dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zurai’
rahimahullah juga menambahkan: “Setiap Dien memiliki pasukan berkuda.
Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ahlul
Hadits).” Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti
dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan,
kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir
semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab tentang aqidah Ahlus Sunnah
serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah dan sesat, baik
itu fuqaha (ahli fiqih) mereka, mufasir (ahli tafsir) mereka maupun
seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah
memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi
pahala atas usaha mereka yang sampai hari dirasakan manfaatnya oleh
kaum muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang
mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa. Akhirnya,
marilah kita simak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini: “Jika aku
melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka aku seakan-akan melihat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam hidup kembali.” (HR. Al-Khatib
dengan sanad SHAHIH, Syaraf Ashabul Hadits hal 26) Wahai Rabb kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman
daripada kami. Dan janganlah Kau jadikan di hati kami kebencian atau
kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun dan Maha Penyayang. Amien ya rabbal ‘alamin.
Sumber: Majalah Salafy edisi IV/Dzulqa’dah/ 1416 /1996 rubrik Mabhats
Sumber: Majalah Salafy edisi IV/Dzulqa’dah/ 1416 /1996 rubrik Mabhats
0 komentar:
Posting Komentar