Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
a. Biografi singkat Amirul Mukminin Ali a.s.
Amirul Mukminin Ali a.s. adalah anak keempat Abu
Thalib. Ia dilahirkan di Makkah pada hari Jumat tanggal 13 Rajab
tepatnya di dalam Ka’bah. Kelahirannya terjadi sekitar tiga puluh tahun
sebelum peristiwa tahun Gajah dan dua puluh tiga tahun sebelum periode
hijrah. Ibunya adalah seorang wanita luhur yang berjiwa mulia bernama
Fathimah binti Asad bin Hisyam bin Abdi Manaf. Ia tinggal di rumah
ayahnya hingga berusia enam tahun.
Ketika Rasulullah SAWW berusia lebih dari tiga puluh tahun, paceklik
sedang menimpa kota Makkah dan barang-barang pangan serba mahal. Hal
inilah yang menyebabkan Ali kecil hidup bersama Rasulullah SAWW selama
tujuh tahun hingga tahun-tahun pertama Bi’tsah dan mendapatkan didikan
langsung darinya.
Pada khotbah ke-192 Nahjul Balaghah ia bercerita
tentang dirinya: “Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana
anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku
akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya”.
Setelah Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi, Ali adalah orang pertama yang beriman kepadanya.
Abu Thalib untuk pertama kalinya melihat anak dan misanannya
mengerjakan shalat bersama. “Anakku, apa yang sedang kau lakukan?”,
tanyanya heran. Ia menjawab: “Wahai ayah, aku telah memeluk agama Islam
dan mengerjakan shalat bersama misananku”. “Janganlah kau berpisah
darinya, karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan”, sang ayah
menimpali.
Ibnu Abbas berkata: “Orang pertama yang melaksanakan shalat bersama Rasulullah SAWW adalah Ali a.s.”.
Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi pada hari Senin dan Ali a.s. mengerjakan shalat pada hari Selasa.
Pada tahun ketiga Bi’tsah, setelah ayat “Dan berilah peringatan
kepada keluarga dekatmu” turun, Rasulullah SAWW mengundang seluruh
keturunan Abdul Muthalib ke rumahnya. Mereka berjumlah empat puluh
orang. Setelah makan siang, Rasulullah SAWW tidak mendapat kesempatan
untuk berbicara. Pada hari berikutnya ia mengundang mereka lagi untuk
makan siang ke rumahnya. Setelah usai makan, Rasulullah SAWW mencuri
kesempatan seraya berbicara di hadapan mereka: “Siapakah di antara
kalian yang siap untuk menolongku dan beriman kepadaku sehingga ia akan
menjadi saudara dan penggantiku setelah aku wafat?” Ali a.s. berdiri dan
berkata: “Aku siap untuk menolongmu dalam menempuh jalan ini!”.
“Duduklah”, jawab Rasulullah SAWW singkat.
Rasulullah SAWW mengulangi ucapannya, dan tidak ada seorang pun yang
bangun menyatakan kesiapannya kecuali Ali a.s. Ia pun menyuruhnya duduk.
Untuk yang ketiga kalinya Rasulullah SAWW mengulangi
ucapannya, dan hanya Ali a.s. yang menyatakan kesiapannya. Akhirnya ia
bersabda: “Sesungguhnya orang ini (Ali) adalah saudaraku, washiku,
wazirku, pewarisku dan khalifahku untuk kalian sepeninggalku”.
Setelah tiga belas tahun berdakwah di Makkah, akhirnya segala faktor
pendukung dan persiapan untuk hijrah ke Madinah tersedia. Pada malam
hijrah, Rasulullah SAWW berkata kepada Ali a.s.: “(Malam ini) engkau
harus tidur di atas ranjangku!”. Malam itu Ali a.s. tidur di atas
ranjang Rasulullah SAWW. Malam itu yang bertepatan dengan tanggal 1
Rabi’ul Awal tahun keempat Bi’tsah dikenal dengan nama Lailatul Mabit.
Berdasarkan beberapa riwayat, pada malam itu satu ayat turun berkenaan
dengan keutamaan Imam Ali a.s.
Beberapa malam sebelum hijrah, Rasulullah SAWW pergi
menuju Ka’bah bersama Ali a.s. Ia berkata kepada Ali a.s.: “Naiklah di
pundakku!”. Setelah Ali a.s. naik ke atas pundaknya, mereka
menghancurkan beberapa buah patung yang mengelilingi Ka’bah. Setelah itu
mereka bersembunyi supaya kaum Quraisy tidak mengetahui siapa yang
melakukan itu.
Setelah Rasulullah SAWW hijrah, Imam Ali a.s. baru
dapat hijrah tiga hari setelah itu bersama ibunya, Fathimah binti Asad,
Fathimah Az-Zahra`, Fathimah binti Zubair dan muslimin lainnya yang
belum sempat berhijrah. Faktor keterlambatannya dalam melaksanakan
hijrah adalah karena ia harus mengembalikan amanat-amanat Rasulullah
SAWW kepada para pemiliknya.
Ketika ia sampai di Madinah, kakinya luka berdarah. Karena
kerelaannya dalam berkorban, Rasulullah SAWW sangat berterima kasih
kepadanya.
Di tahun pertama hijrah, ketika Rasulullah SAWW
mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, ia berkata kepada Imam Ali a.s.:
“Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat”. Pada tahun kedua hijrah,
Imam Ali a.s. menikah dengan Fathimah Az-Zahra` a.s.
Bulan Ramadhan tahun kedua hijrah adalah bulan kemuliaan dan
kebanggaan bagi Imam Ali a.s. Pada tanggal 15 Ramadhan Allah mengaruniai
Imam Hasan a.s. kepadanya dan pada tanggal 17 Ramadhan terjadi perang
Badar yang telah membuktikannya sebagai pahlawan pemberani, dan hal itu
menjadi buah bibir masyarakat Madinah.
Syeikh Mufid r.a. berkata: “Pada perang Badar
muslimin berhasil membunuh tujuh puluh orang kafir dan Imam Ali a.s.
membunuh tiga puluh enam orang dari mereka. Itu pun ia masih membantu
yang lain dalam membunuh orang-orang kafir”.
Pada bulan Syawal tahun ketiga hijrah pecah perang Uhud. Nama Imam
Ali a.s. –-sebagaimana di perang Badar– menjadi buah bibir masyarakat.
Di perang Uhud inilah Rasulullah SAWW bersabda: “Ali adalah dariku dan
aku darinya”. Dan pada perang ini juga suara teriakan di langit
menggema: “Tiada pedang kecuali Dzulfiqar dan tiada pemuda kecuali Ali”.
Pada tahun ketiga atau keempat hijrah, Allah
menganugerahkan seorang putra kepada Imam Ali a.s. yang akhirnya dinamai
Husein. Sembilan imam ma’shum a.s. berasal dari keturunannya.
Pada bulan Syawal tahun kelima hijrah perang Khandaq pecah. Di perang
ini Imam Ali a.s. berhadapan langsung dengan ‘Amr bin Abdi Wud.
Berkenaan dengan hal tersebut Rasulullah SAWW bersabda: “Manifestasi
seluruh iman berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”. Pada
kesempatan yang lain ia bersabda: “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih
utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.
Pada tahun ketujuh hijrah, perang Khaibar kembali pecah. Pada suatu
hari ketika muslimin sudah putus asa karena tidak dapat menjebol benteng
Khaibar yang dijadikan pertahanan oleh orang-orang Yahudi, Rasulullah
SAWW bersabda: “Besok aku akan memberikan bendera komando pasukan ini
kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia juga
dicintai oleh mereka. Ia akan menyerang pantang mundur, dan tidak akan
pulang kecuali Allah akan menganugerahkan kemenangan kepadanya”.
Pada tanggal 20 Ramadhan tahun ke-8 hijrah,
Rasulullah SAWW berhasil membebaskan kota Makkah yang sebelumnya
merupakan pusat dan benteng kokoh bagi penyembahan berhala. Berdasarkan
sebagian riwayat, Imam Ali a.s. pada hari itu memperoleh kemuliaan untuk
naik di atas pundak Rasulullah SAWW untuk menghancurkan berhala-berhala
yang menghuni Ka’bah.
Setelah peristiwa pembebasan kota Makkah, perang Hunain dan kemudian
perang Tha`if pecah. Pada peristiwa perang Hunain, hanya sembilan orang
sahabat yang di antara mereka adalah Imam Ali a.s. yang setia bersama
Rasulullah SAWW. Para sahabat yang lain lari tunggang-langgang.
Pada tahun ke-9 hijrah, perang Tabuk pecah. Dari dua puluh tujuh
peperangan yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAWW, hanya dalam perang
ini Imam Ali a.s. tidak ikut serta. Hal itu dikarenakan Rasulullah SAWW
menyuruhnya untuk menjadi penggantinya di Madinah. Hadis manzilah
berhubungan dengan peristiwa ini. Dalam hadis tersebut Rasulullah SAWW
bersabda: “Apakah engkau (Ali) tidak rela jika kedudukanmu di sisiku
seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi lagi
setelahku”. Di tahun ini juga Imam Ali a.s. mendapat perintah untuk
mengambil ayat-ayat surah al-baraa`ah yang dipegang oleh Khalifah Abu
Bakar untuk dibacakannya di hadapan para penyembah berhala.
Pada tanggal 5 Dzul Qa’dah 10 H., Rasulullah SAWW
mengutus Imam Ali a.s. ke Yaman untuk bertabligh, dan dengan ini banyak
masyarakat Yaman yang memeluk agama Islam.
Pada tahun itu juga peristiwa Ghadir Khum terjadi. Seraya mengenalkan
Imam Ali a.s. sebagai penggantinya Rasulullah SAWW bersabda: “Barang
siapa yang aku maula (pemimpin)-nya, maka Ali adalah pemimpinnya”. Hadis
ini diriwayatkan oleh seratus sepuluh sahabat, delapan puluh empat
tabi’in dan tiga ratus enam puluh ulama Ahlussunnah dari sejak abad ke-2
hingga abad ke-13 H.
Pada tahun ke-11 hijrah, Rasulullah SAWW meninggal
dunia. Imam Ali a.s. berkata: “Engkau (Muhammad) meninggal dunia dalam
pelukanku”. Padahal washi Rasulullah SAWW sedang sibuk memandikan,
mengafani dan menguburkannya, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani
Saidah dengan tujuan mengadakan sebuah kudeta. Sebuah kudeta yang
eksesnya memenuhi sejarah dengan lembaran hitam, menjadikan masa depan
umat manusia gelap-gulita dan lebih dari itu, sunnah yang batil
terwujud. Dinasti Umaiyah dan Abasiyah telah menduduki tahta kerajaan
Islam dan menjadikan kekhilafahan sebagai sebuah permainan.
Dengan kata lain, peristiwa yang terjadi di Saqifah itu adalah dasar
utama munculnya pengkhianatan besar terhadap muslimin. Karena dengan
lebih mendahulukan orang yang biasa atas orang yang lebih dari segala
segi, para sahabat yang berkumpul di Saqifah tersebut telah memenangkan
permainan itu dengan segala tipu muslihat dan berhasil menon-aktifkan
Imam Ali a.s. dari memegang khilafah padahal ia memiliki masa lalu yang
cemerlang dalam membela Islam, ilmu dan takwa. Dan selama dua puluh lima
tahun tidak hanya hak Imam Ali a.s. yang diinjak-injak melalui
iming-iming kekayaan dan pemaksaan, hak umat Islam untuk mendapatkan
seorang pemimpin yang adil dan alim juga tidak dihiraukan.
Akhirnya, sistem khilafah semacam inilah yang memperlicin jalan bagi
berkuasanya Bani Umaiyah dan Bani Abbas, dan kebiasaan lebih
mendahulukan orang biasa dari orang yang lebih dari segala segi itulah
yang memberikan kesempatan bagi orang yang suka mencari kesempatan untuk
mengorbankan hakikat demi maslahat individu.
Sepanjang lima tahun pemerintahan Imam Ali a.s.,
banyak faktor yang selalu menjegalnya dalam usaha mewujudkan sebuah
perbaikan universal dan keadilan sosial. Pada masa lima tahun itu
mayoritas waktu dan tenaganya digunakan untuk membasmi segala bentuk
kudeta dan berperang melawan naakitsiin (para pembelot dari bai’at
seperti Thalhah dan Zubair), qaasithiin (para lalim seperti Mu’awiyah
dan para pengikutnya) dan maariqiin (orang-orang yang enggan menaati
segala instruksi Imam Ali a.s. seperti kelompok Khawarij Nahrawan).
Selama enam puluh tiga tahun hidup di tengah-tengah masyarakat, Imam
Ali a.s. hidup dengan penuh kesucian jiwa, takwa, kejujuran, iman dan
ikhlas dengan berpegang teguh pada semboyan “cercaan para pencerca tidak
akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”. Dan ia
tidak memiliki tujuan kecuali Allah dan setiap amalan yang dikerjakannya
semuanya demi Allah. Jika ia sangat mencintai Rasulullah SAWW, hal itu
pun ia lakukan demi Allah. Ia tenggelam dalam iman dan ikhlas untuk
Allah. Ia lalui semua kehidupannya dengan kesucian dan ketakwaan, dan ia
pun bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan suci. Ia lahir di rumah Allah
dan meninggal di rumah Allah juga. Seluruh hidupnya telah menjadi satu
dengan kebenaran. Ketika pedang Abdurrahman bin Muljam merobek kepalanya
ia hanya berkata: “Aku sekarang menang, demi Tuhan yang memiliki
Ka’bah”. Ia meneguk cawan syahadah pada malam 21 Ramadhan 40 H.
b. Poin-poin Penting dari Kehidupan Imam Ali a.s
Poin pertama : Pada peristiwa badan syura yang
beranggotakan enam orang dan dibentuk atas perintah Umar bin Khattab
dengan tujuan untuk memilih khalifah setelah ia meninggal dunia,
Abdurrahman bin ‘Auf, salah seorang kandidat tidak bersedia untuk
dipilih dan akhirnya ia mengundurkan diri dari keanggotaan. Setelah itu,
ia berpendapat agar kandidat khalifah hanya terdiri dari dua orang,
yaitu Imam Ali a.s. dan Utsman bin Affan. Ia ingin membai’at Imam Ali
a.s. dengan syarat ia harus menjalankan pemerintahan atas dasar kitab
Allah, sunnah Rasul-Nya, “sunnah” (baca : metode) Abu Bakar dan Umar.
Imam Ali a.s. menjawab: “Saya akan berusaha menjalankan pemerintahan
atas dasar kitab Allah, sunnah Rasul-Nya dan metode saya sendiri”.
Ketika Utsman mendapat tawaran di atas, ia langsung menerima dan dengan mudah menjadi khalifah.
Poin kedua: Setelah Utsman bin Affan terbunuh, Imam Ali a.s.,
berdasarkan desakan mayoritas masyarakat kala itu, dengan terpaksa
menerima khilafah. Situasi politik negara saat itu sangat tidak memihak
kepadanya. Banyak problema yang muncul di sana-sini. Akan tetapi, dengan
segala problema yang ada, ia telah berhasil mengadakan sebuah
perombakan besar-besaran dalam bidang hak-hak asasi, ekonomi dan
birokrasi. Dalam bidang hak-hak asasi, ia telah menghapus sistem
perbedaan dalam memberikan santunan kepada anggota masyarakat dan
menyamaratakan mereka dalam hal itu. Ia berkata: “Seorang yang hina
adalah mulia dalam pandanganku jika aku harus menegakkan haknya dan
orang yang kuat adalah lemah dalam pandanganku jika aku harus mengambil
hak orang lain darinya”.
Dalam bidang ekonomi, ia telah merampas semua tanah dan harta yang
telah diberikan oleh Utsman kepada golongan jet-set dan dibagikan secara
merata kepada seluruh masyarakat. Ia berkata: “Wahai manusia, aku
adalah dari kalian. Jika aku memiliki suatu harta, kalian juga memiliki
harta yang sama, jika kalian memiliki suatu tugas, maka aku juga
memiliki tugas yang sama. Aku akan membawa kalian menempuh jalan yang
telah ditempuh oleh Rasulullah dan setiap yang diperintahkannya, akan
kutanamkan di dalam lubuk hati kalian. Setiap tanah dan harta yang telah
diberikan oleh Utsman kepada orang lain (dengan tidak benar) harus
dikembalikan ke baitul mal. Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang
dapat membasmi kebenaran. Jika kutemukan harta yang telah dijadikan
mahar perkawinan, budak dibeli dengannya atau harta yang (tidak
diketahui asal-usulnya karena) telah tersebar di berbagai kota, akan
kukembalikan ke tempat asalnya. Dalam keadilan tersembunyi sebuah
ketenteraman, dan jika seseorang merasa terikat oleh kebenaran, maka
kelaliman akan lebih mencekiknya”.
Dalam bidang birokrasi, Imam Ali a.s. telah melakukan dua hal
penting: pertama, memberhentikan para wali kota yang telah ditentukan
oleh Utsman, dan kedua, menyerahkan tampuk wali kota kepada orang-orang
yang bersih dan bertakwa. Ia menunjuk Utsman bin Hanif sebagai wali kota
Bashrah, Sahl bin Hanif sebagai wali kota Syam, Qais bin Ubadah sebagai
wali kota Mesir, dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai wali kota Kufah.
Berkenaan dengan Zubair dan Thalhah yang pernah menjabat sebagai wali
kota Bashrah dan Kufah, Imam Ali a.s. menyingkirkan mereka dengan
lemah-lembut. Imam Ali a.s. juga mencabut Mu’awiyah dari kursinya
sebagai wali kota Syam, karena ia tidak ingin seorang yang kotor
berkuasa atas masyarakat Syam. Sikap Imam Ali a.s. dalam situasi dan
kondisi semacam itu adalah ia harus menyerang Mu’awiyah dan
menyingkirkannya dari arena politik. Imam a.s. menganggap dirinya
bertanggung jawab untuk membasmi segala unsur penentang ilegal yang
diciptakan oleh Mu’awiyah dan kelompoknya. Imam a.s. harus membersihkan
semua unsur penentang, karena tugasnya adalah membersihkan masyarakat
Islam dari segala penyelewengan. Dan hal ini sangatlah berat.
Dengan kata lain, faktor utama yang menyebabkan Imam
Ali a.s. harus menyingkirkan Mu’awiyah dan berperang melawannya adalah
karena aliran pemikiran yang dianutnya (yang dipoles dengan agama).
Dengan demikian, Imam Ali a.s. harus menghadapi dua realita pahit:
pertama, ia harus menangani disintegrasi bangsa dan kedua, ia harus
membasmi setiap penyelewengan dari dalam negara sebagai warisan yang
telah ditinggalkan oleh pemerintahan masa lalu.
Dalam hal ini, usaha dalam meluruskan situasi negara yang sudah
terlanjur krisis dan merampas kembali harta-harta yang berada di tangan
para pengkhianat bangsa ia lakukan tanpa mengenal toleransi sedikit pun.
Imam Ali a.s. berkata: “Mu’awiyah tidak pernah menjalankan Islam
sepenuhnya, bahkan ia ingin melestarikan tradisi jahiliah ayahnya, Abu
Sufyan. Ia ingin merubah eksistensi Islam dengan sebuah eksistensi yang
lain dan masyarakat Islam dengan masyarakat yang lain. Ia ingin
membentuk sebuah masyarakat yang tidak meyakini Islam dan Al Quran. Ia
menginginkan khilafah diganti dengan sistem pemerintahan kaisar”.
Dengan adanya segala problema yang merintangi gebrakannya, Imam Ali
a.s. tidak pantang menyerah. Ia tetap tegar memegang prinsip dalam
membasmi para pemberontak yang menginginkan disintegrasi bangsa. Setelah
pedang melukai kepalanya pun tetap menyiapkan pasukan yang siap tempur
menuju Syam untuk membasmi golongan pemberontak tersebut.
Dengan ini, Imam Ali a.s. –-dalam pandangan muslimin yang sadar–
satu-satunya orang yang mampu memerangi segala penyelewengan dan
kezaliman yang telah mengakar di tubuh dunia Islam.
Di sini kami memilih ucapan-ucapan suci yang pernah diucapkan oleh
Imam Ali a.s. semasa hidupnya dengan harapan semoga ucapan-ucapan suci
tersebut dapat menjadi penerang hati demi menuju kesempurnaan insani.
1. Menyembunyikan amal baik dan musibah
“Termasuk harta simpanan di surga, berbuat
kebajikan, menyembunyikan amal baik, sabar atas segala musibah dan
menyembunyikan musibah”.
2. Tanda-tanda orang zahid
“Orang yang zahid adalah yang ketabahannya tidak
dikalahkan oleh hal-hal yang haram dan hal-hal yang halal tidak
melupakannya untuk bersyukur”.
3. Tidak berlebihan dalam mencintai dan membenci
“Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia
akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa
saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari”.
4. Harga setiap insan
“Harga setiap orang bergantung kepada amalan baiknya”.
5. Faqih yang sempurna
“Maukah kuberitahukan kepada kalian seorang faqih
yang sesungguhnya? Ia adalah orang yang tidak mengizinkan orang lain
bermaksiat kepada Allah, tidak memutusasakannya dari rahmat-Nya, tidak
menjadikannya merasa aman dari makar-Nya, dan tidak meninggalkan Al
Quran dan memilih yang lainnya karena benci terhadapnya. Tiada kebaikan
bagi sebuah ibadah yang tidak disertai oleh pemahaman, tiada kebaikan
bagi sebuah ilmu yang tidak disertai oleh tafakur, dan tiada kebaikan
bagi pembacaan Al Quran yang tidak disertai oleh tadabur”.
6. Bahaya terlalu berharap dan mengikuti hawa nafsu
“Aku sangat mengkhawatirkan dua hal terhadap kalian:
pengharapan yang terlalu panjang dan mengikuti hawa nafsu. Karena
pengharapan yang terlalu panjang akan menjadikan orang lupa akhirat dan
mengikuti hawa nafsu akan mencegahnya dari kebenaran”.
7. Batasan persahabatan
“Janganlah kau jadikan musuh sahabatmu sebagai sahabatmu, karena dengan itu engkau telah memusuhi sahabatmu sendiri”.
8. Macam-macam kesabaran
“Kesabaran itu ada tiga macam: sabar atas musibah, sabar atas ketaatan (kepada Allah) dan sabar atas maksiat”.
9. Kemiskinan yang telah ditakdirkan
“Barang siapa yang jatuh miskin dan ia tidak
menganggap bahwa hal itu adalah suatu anugerah dari Allah, maka ia telah
melenyapkan sebuah harapan, dan barang siapa menjadi kaya-raya dan ia
tidak memikirkan bahwa hal itu adalah sebuah ujian dari-Nya, maka ia
telah terjerumus ke dalam sebuah jurang yang menakutkan”.
10. Kemuliaan, bukan kehinaan
“Kematian ya, kehinaan tidak! Keteguhan pendirian
ya, ketololan tidak! Masa adalah dua hari: pada satu hari ia akan
memihak kepadamu dan pada hari yang lain ia akan membawa bencana bagimu.
Jika ia sedang memihak kepadamu, maka jangan terlalu berbahagia, dan
jika ia membawa bencana bagimu, maka janganlah susah. Engkau akan diuji
dengan keduanya”.
11. Memohon kebaikan
“Tidak akan bingung orang yang beristikharah, dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah”.
12. Mencintai negara
“Sebuah negeri akan makmur jika (penduduknya) mencintainya”.
13. Tiga macam ilmu
“Ilmu itu ada tiga: fiqih untuk memahami agama,
kedokteran untuk menjaga kesehatan badan dan Nahwu untuk menjaga mulut
salah ucap”.
14. Nilai seseorang
“Berbicaralah tentang ilmu niscaya harga dirimu akan tampak”.
15. Jangan yakini!
“Jangankan meyakinkan kepada dirimu bahwa engkau miskin dan panjang umur”.
16. Menghormati seorang mukmin
“Mencela seorang mukmin adalah sebuah kefasikan,
memeranginya adalah sebuah kekufuran dan kehormatan hartanya seperti
kehormatan darahnya”.
17. Kefakiran
“Kefakiran adalah kematian yang paling besar, dan
sedikitnya keluarga salah satu dari dua kemudahan. Ini adalah separuh
kebahagiaan”.
18. Dua hal yang membahayakan
“Dua hal yang dapat menghancurkan manusia: takut miskin dan berbangga diri”.
19. Tiga orang dianggap zalim
“Pelaku kezaliman, orang yang membantunya dan orang yang diam dengan kezaliman tersebut adalah orang-orang zalim”.
20. Sabar terbaik
“Kesabaran itu ada dua macam: sabar ketika ditimpa
musibah. Ini adalah hal yang baik. Dan lebih baik dari itu adalah sabar
menahan diri untuk tidak melanggar hal-hal yang telah diharamkan oleh
Allah atas dirimu”.
21. Melaksanakan amanat
“Sampaikanlah amanat walaupun kepada pembunuh putra nabi”.
22. Enggan tenar
Imam Ali a.s. berpesan kepada Kumail bin Ziyad:
“Tenanglah, jangan berambisi untuk ingin dikenal, sembunyikanlah
kepribadianmu jangan sampai disebut-sebut di depan orang lain.
Belajarlah niscaya engkau akan mengetahui dan diamlah niscaya engkau
akan selamat. Tidak buruk bagimu jika Allah telah memahamkan agama-Nya
kepadamu meskipun engkau tidak mengenal orang lain dan ia juga tidak
mengenalmu”.
23. Siksa enam golongan
“Allah akan menguji enam golongan dengan enam jenis
ujian: menguji bangsa Arab dengan fanatisme, menguji para pembesar desa
dengan kesombongan, menguji para pemimpin dengan kelaliman, menguji
fuqaha` dengan kedengkian, menguji para pedagang dengan khianat dan
menguji para penduduk desa dengan kebodohan”.
24. Rukun-rukun iman
“Iman memiliki empat rukun: tawakal kepada Allah,
menyerahkan segala urusan kepada-Nya, menerima segala perintah-Nya, dan
rela terhadap semua ketentuan-Nya”.
25. Pendidikan akhlak
“Hiasilah akhlak kalian dengan segala kebajikan,
setirlah ia menuju keagungan (akhlak) dan biasakanlah diri kalian untuk
bersabar”.
26. Mempermudah urusan masyarakat dan menjauhi perbuatan hina
“Jangan terlalu mempersulit urusan orang lain dan junjunglah harga diri kalian dengan melupakan perbuatan hina”.
27. Penjaga manusia
“Cukuplah bagi setiap orang sebagai benteng bahwa
tidak ada seorang pun (di dunia ini) kecuali ia memiliki para penjaga
yang telah diutus oleh Allah untuk menjaganya supaya ia tidak jatuh ke
dalam sumur (baca : jurang), supaya tembok tidak jatuh di atas kepalanya
dan ia tidak diserang oleh binatang buas. Dan jika ajalnya telah tiba,
maka mereka akan meninggalkannya berdua dengan ajalnya itu”.
28. Masa kelaliman
“Akan datang menimpa manusia suatu masa, orang-orang
yang tidak memiliki keahlian akan dihormati, tidak ditemukan di
dalamnya orang yang cerdas dan cerdik kecuali ia lalim, tidak dipercaya
kecuali pengkhianat dan tidak dituduh berkhianat kecuali orang yang
terpercaya. Mereka akan menggunakan harta negara untuk kepentingan
pribadi mereka, zakat sebagai sumber penghasilan, silaturahmi sebagai
sarana untuk mengungkit-ungkit kebajikan dan ibadah sebagai kebanggaan
dan menzalimi orang lain. Dan hal ini terjadi ketika wanita menjadi
penguasa, budak-budak wanita menjadi tempat rujukan dan musyawarah dan
anak-anak kecil menjadi pemimpin”.
29. Cerdik menghadapi fitnah
“Ketika fitnah berkecamuk, jadikanlah dirimu seperti
ibnu labun (anak unta yang belum berumur dua tahun), karena ia masih
belum memiliki punggung yang kuat untuk dapat ditunggangi dan tidak
memiliki air susu untuk dapat diperah”.
30. Manusia yang paling lemah
“Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak
dapat menjalin tali persahabatan dengan orang lain, dan lebih lemah
darinya adalah orang yang mudah melepaskan persaudaraan dengan
sahabatnya”.
31. Kaffarah dosa-dosa besar
“Di antara kaffarah dosa-dosa besar adalah menolong
orang yang meminta pertolongan dan membahagiakan orang yang sedang
ditimpa kesusahan”.
32. Tanda kesempurnaan akal
“Jika akal (seseorang) telah sempurna, maka ia akan sedikit berbicara”.
33. Berhubungan dengan Allah
“Barang siapa telah memperbaiki hubungannya dengan
Allah, maka Ia akan memperbaiki hubungannya dengan orang lain, dan
barang siapa telah memperbaiki urusan akhiratnya, maka Ia akan
memperbaiki urusan dunianya”.
34. Merenungkan
“Renungkanlah berita yang kau dengar secara
baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu
sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit”.
35. Pahala orang yang meninggalkan dosa
“Pahala pejuang yang syahid di jalan Allah tidak
lebih besar dari pahala orang yang mampu untuk berbuat maksiat lalu ia
meninggalkannya. Tidak mustahil para peninggal dosa akan menjadi
malaikat”.
36. Akibat perbuatan dosa
“Ingatlah bahwa segala kenikmatan (dosa) akan sirna dan akibatnya akan kekal abadi”.
37. Kriteria dunia
“(Dunia itu) adalah menipu, membahayakan dan sepintas”.
38. Para pemegang agama di akhir zaman
“Akan datang kepada manusia suatu masa yang tidak
tertinggal dari Al Quran kecuali tulisannya dan dari Islam kecuali
namanya, pada masa itu masjid-masjid dimakmurkan bangunannya sedangkan
ia sendiri kosong dari hidayah, orang-orang yang menghuni dan
memakmurkannya adalah orang yang paling jahat di muka bumi. Fitnah
bersumber dari mereka dan segala kesalahan kembali kepada mereka.
Orang-orang yang tertinggal dari kafilah fitnah tersebut (taubat–pen)
akan dipaksa untuk kembali dan orang-orang yang tertinggal di belakang
(baca : tidak ikut serta dalam kafilah itu) akan didorong maju ke depan
(supaya bergabung dengannya). Allah berfirman: “Demi Dzat-Ku, akan
Kukirim untuk mereka sebuah fitnah (besar) yang akan menjadikan
orang-orang sabar bingung (menentukan sikap)”. Dan Ia telah melakukan
hal itu. Kita memohon kepada-Nya untuk mengampuni kelupaan yang membuat
kita tergelincir”.
oleh Mahdi Alhusaini
0 komentar:
Posting Komentar