Tuberculosis Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodul limfe.
B. Etiologi
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Micobacterium tuberkulosa.
Bakteri ini merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang
1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. sebagian besar komponen Mycobacterium
tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan
terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan factor fisik.
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang
banyak oksigen. Oleh karena itu, Microbacterium tuberculosis ini senang
tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi.
Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit
tuberculosis.
Bakteri
ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882,
sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil
Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch
Pulmonum (KP).
C. Patofisiologi
Individu rentan menghirup basil tubercolusis dan menjadi terinfeksi. Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Micobacterium tuberculosis.
Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang
biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan bakteri ini juga dapat
menjangkau sampai ke daerah lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga
menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubut lain
(ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru.
Selanjutnya,
sistem imun tubuh merespon dengan malakukan reaksi inflamasi. Fagosit
(neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri, limfosit
spesifik-tubercolusis melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal.
Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli,
menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10
minggu setelah pemajanan.
Interaksi antara Micobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma
terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh
makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi
massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa fibrosa ini disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.
Setelah infeksi awal, jika respon
sistem imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah.
Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri
yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, Ghon tubercle
mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam
bronkus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk
jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,
mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses
ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di
dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan
jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan
menimbulkan respon berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu
kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel.
D. Manifestasi Klinik
1. Batuk
Batuk
biasanya dialami 3-4 minggu dan bahkan berbulan-bulan. Sifat batuk
dapat nonproduktif maupun produktif. Keadaan ini berlanjut menjadi batuk
darah. Kebanyakan batuk darah pada tubercolusis terjadi pada kavitas
tapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding alveolus.
2. Sesak Napas
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut di mana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
3. Nyeri Dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritik.
4. Maleise
Gejala
maleise ditemukan berupa aneroksia, tidak ada nafsu makan, badan makin
kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam.
E. Test Diagnostik
1. Test kulit tuberculin
Test
moundtousx adalah test kulit yang mdigunakan untuk menntukan apakah
individu telah terinfeksi basil TB. Ekstra basil tuberculin disuntikan
kedalam lapisan intravena pada aspek dalam lengan bawah, sekitar 10 cm
di bawah siku. Respons positif biasanya ditunjukan dengan benjolan keras
(indurasi maupun euritema) yang timbul pada bekas tempat suntikan yang artinya kemungkinan menderita infeksi TB.
2. Test radiologi
Rontgen
dada, pada beberapa kasus test ini akan menunjukan adanya warna putih
dimana system imun telah berhasil menahan bakteri TB pada beberapa kasus
lain, test ini akan mnunjukan adanya nodule atau cavities pada paru-paru anda yang disebabkan pada TB aktif.
3. Test laboraturium
a. Test
kultur, sample sekresi perut atau dahak (sputum). Sample-sample ini
akan diuji untuk akan melihat adanya bakteri TB dalam beberapa jam.
Walaupun memerlukan waktu yang lebih lama sample tersebut juga dapat
dikirim ke laboraturium dimana sample-sample tersebut akan diperiksa
dibawah mikroskop. Bakteri yang muncul akan diuji lagi apakah bakteri
tersebut akan merespon pemberian obata-obatan yang biasa yang digunakan
untuk merawat TB. Hasil test kultur tersebut dapat juga digunakan dalam
pemberian obat yang paling efektif untuk perawatan atau pengobatan.
b. Darah
1) Leukosit meninggi
2) LED meninggi
F. Penatalaksanaan Medik
1. Obat anti TB (OAT)
Obat
harus diberikan dalam kombinasi 2 obat yang bersifat bakteristik dengan
atau tanpa obat ketiga, tujuan pemberian obat OAT, antara lain:
a. Membuat konfersi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin melalui kegiatan bakterisit.
b. Mencegah kekambulan pada tahun pertama setelah pengobatan dengan sterilisasi.
c. Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesu melalui perbaikan daya tahan imunologis.
Maka pengobatan TB dilakukan 2 fase, yaitu:
a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisit untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah dengan cepat.
b. Fase
lanjutan, melalui kegiatan steriliosasi kuman pada pengobatan jangka
pendek atau kegiatan bakteri ostatik pada pengobatan konfersional.
OAT yang biasa yang digunakan antara lain: isoniazid (INH), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan steptormisin (S) yang bersifat bakterisid dan etambuto (E), yang bersifat bakteriostatik. Penilaian keberhasilan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologi,
radiologi, dan klinik. Kesempatan TB paru yang baik akan memperlihatkan
sputum BTA negatif, adanya perbaikan radiologi dan menghilangnya
gejala.
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Riwayat
kesehatan dan pemeriksaan fisik yang lengkap dilakukan. Manifestasi
klinis seperti demam, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat
malam, keletihan, batuk dan pembentukan sputum mengharuskan pengkajian
fungsi pernapasan yang lebih menyeluruh. Setiap perubahan suhu tubuh
atau frekuensi pernapasan, jumlah dan warna sekresi, frekuensi dan batuk
parah, dan nyeri dada dikaji. Paru-paru dikaji terhadap konsolidasi
dengan mengevaluasi bunyi napas (menghilang, bunyi bronkhial, atau
bronkovesikuler, krekels), fremitus, dan hasil pemeriksaan perkusi
(pekak). Pasien dapat juga mengalami pembesan nodus limfe yang terasa
sangat nyeri. Kesiapan emosional pasien untuk belajar, juga persepsi dan
pengertiannya tentang tuberkulosis dan pengobatannya juga dikaji.
Selain itu, menurut Marylinn E. Doengoes, data dasar pengkajian pada pasien dengan Tuberkulosis Paru yaitu:
1. Aktivitas/istirahat
Gejala:
Kelelahan umum dan kelemahan, napas pendek karena kerja. Kesulitan pada
malam atau demam pada malam hari, menggigil dan atau berkeringat. Mimpi
buruk.
Tanda: Takikardia, takipnea/dispnea pada kerja. Kelelahan otot, nyeri dan sesak (tahap lanjut).
2. Integritas ego
Gejala:
Adanya/faktor stress lama. Masalah keuangan, rumah. Perasaan tak
berdaya/tak ada harapan. Populasi budaya/etnik: Amerika Asli atau
imigran dari Amerika Tengah, Asia Tenggara, Indian anak benua.
Tanda: Menyangkal (khususnya selama tahap dini). Ansietas, ketakutan mudah tarangsang.
3. Makanan/cairan
Gejala: Kehilangan nafsu makan. Tidak dapat mencerna. Penurun berat badan.
Tanda: Turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik. Kehilangan otot/hilang lemak subkutan.
4. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Nyeri dada meningkat karena betuk bersulang.
Tanda: Berhati-hati pada area yang sakit. Perilaku distraksi dan gelisah.
5. Pernapasan
Gejala: Batuk produktif atau tak produktif. Napas pendek. Riwayat tubercolusis/terpanjang pada individu terinfeksi.
Tanda:
Peningkatan frekuensi pernapasan (parenkim paru dan pleura).
Pengembangan pernapasan tak simetri (effusi pleura). Perkusi pekak dan
penurunan fremitus (cairan pleural dan penebalan pleural). Karakteristik
sputum: Hijau/purulen, mukoid kuning, atau bercak darah. Deviasi
trakeal (penyebaran bronkogenik). Tak perhatian, mudah terangsang yang
nyata, perubahan mental (tahap lanjut).
6. Keamanan
Gejala: Adanya kondisi penekanan imun. Tes HIV positif.
Tanda: Demam rendah atau sakit panas akut.
7. Interaksi sosial
Gejala:
Perasaan isolasi, penolakan kerena penyakit menular. Perubahan pola
biasa dalam tanggung jawab/perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan
peran.
8. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
Riwayat keluarga TB. Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk. Gagal
untuk membaik/kambuhnya TB. Tidak berpartisipasi dalam terapi.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Marylinn E. Doengoes diagnosa keperawatan yang lazim mucul pada klien dengan Tuberculosis Paru adalah:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, atau sekret darah, upaya batuk buruk.
Ditandai dengan: frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan tidak normal, bunyi napas tidak normal (ronkhi, mengi), dispnea.
2. Resiko
tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan
efektif paru atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret
kental/tebal, edema bronkhial,
Ditandai dengan: tidak dapat diterapkan adanya tanda dan gejala.
3. Resiko
tinggi penyebaran infeksi/aktivasi ulang berhubungan dengan pertahanan
primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, malnutrisi, terpajan
lingkungan. Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajangan patogen.
Ditandai dengan: tidak dapat diterapkan adanya tanda dan gejala.
4. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan,
anoreksia, sering batuk/produksi sputum: dispnea, ketidakcukupan sumber
keuangan.
Ditandai dengan: berat badan dibawah ideal, melaporkan kurang tertarik pada makanan, gangguan sensai pengecap, tonus otot buruk.
5. Kurang
pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif,
informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap.
Ditandai dengan: permintaan informasi, menunjukkan kesalahan konsep tentang status kesehatan, tidak akurat mengikuti instruksi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, atau sekret darah, upaya batuk buruk.
Tujuan:
Klien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan
bersihan jalan napas dengan kriteria: batuk efektif, frekuensi napas
dalam batas normal, ronchi (-), AGD dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji fungsi pernapasan misalnya: misalnya: bunyi napas, kecepatan irama, kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
R/
Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis ronchi mengi
menunjukkan akumulas sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan
napas yang dapat menimbulkan penggunaan otot bantu pernapasan.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektiif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
R/
Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental. Sputum berdarah kental
atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan (kavitasi) paru atau luka
bronchial dan dapat memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.
c. Berikan klien posisi semi fowler. Bantu klien untuk batuk efektif dan latihan napas dalam.
R/
Posisi dapat membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya
pernapasan. Vetilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
d. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
R/ Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret, sehingga mudah untuk dikeluarkan.
Kolaborasi
e. Beri obat-obatan sesuai indikasi: agen mukolitik, bronkhodilator.
R/
Agen mukolitik: menurunkan kekentalan sekret paru untuk memudahkan
pembersihan. Bronkhodilator: meningkatkan ukuran lumen percabangan
trakeobronkhial, sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
Berguna pada adanya keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila respons
inflamasi mengancam hidup.
2. Resiko
tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan
efektif paru atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret
/tebal.
Tujuan:
Klien melaporkan tidak adanya/penurunan dispnesia dengan kriteria:
klien akan terbebas dari gejala distres pernapasan, tidak ada
tanda-tanda sianosis, frekuensi napas dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji dispnea, takipnea, menurunnya bunyi nafas peningkatan upaya pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.
R/
TB Paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkopneumonia sampai inflamasi, nekrotis, efusi pleure, dan fibrosis
luas. Efek pernapasan dapat dari ringan sampai dispnea berat hingga
distress pernapasan.
b. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran. catat sianosis atau perubahan pada kulit termasuk membran mukosa dan kuku.
R/ Akumulasi sekret/pengaruh jalan napas dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan.
c. Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan.
R/ Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala.
Kolaborasi
d. Berikan O2 tambahan yang sesuai.
R/
Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap
penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru.
3. Resiko
tinggi penyebaran infeksi/aktivasi ulang berhubungan dengan pertahanan
primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, malnutrisi, terpajan
lingkungan. Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajangan patogen.
Tujuan:
Klien akan mengambil tindakan untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi, dengan kriteria: suhu tubuh dalam batas normal.
Lekosit dalam batas normal, pemeriksaan kultur negatif, pengetahuan
meningkat mengenai resiko infeksi dan pencegahannya.
Intervensi:
a. Kaji
patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet
udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa, menyanyi dan
lain-lain.
R/
Membantu klien menyadari/menerima perlunya mematuhi program pengobatan
untuk mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi. Pemahaman bagaimana
penyakit disebarkan dan kesadaran kemungkinan transmisi membantu
pasien/orang terdekat untuk mengambil langkah untuk mencegah terjadinya
infeksi ke orang lain.
b. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat karib/teman.
R/ Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
c. Anjurkan
klien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tissue dan menghindari
meludah. Kaji pembuangan tissue sekali pakai dan tehnik mencuci tangan
yang tepat. Dorong untuk mengulangi demonstrasi.
R/ Perilaku yang diperhatikan untuk mencegah penyebaran infeksi.
d. Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, contoh : masker atau isolasi pernapasan
R/ Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi dan membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
e. Awasi suhu sesuai indikasi.
R/ Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
f. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
R/
Periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada
adanya rongga atau penyakit luas, resiko penyebaran infeksi dapat
berlanjut sampai 3 bulan.
Kolaborasi
g. Awasi pemeriksaan laboratrium, contoh hasil usap sputum.
R/
Pasien yang mengalami 3 usapan negatife (memerlukan 3-5 bulan), perlu
mentaati program obat, dan asimtomatik akan diklasifikasikan tak
menyebar.
4. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan,
anoreksia, sering batuk/produksi sputum: dispnea, ketidakcukupan sumber
keuangan.
Tujuan:
Klien akan menunjukkan terpenuhinya nutrisi sesuai dengan kebutuhan
dengan kriteria: menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan
dengan bebas malnutrisi, melakukan perubahan/perilaku pola hidup untuk
meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
a. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangan berat badan.
R/ Berguna dalam mendefinisikan daerajat/luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
b. Kaji pola diet pasien yang disukai atau tidak disukai.
R/ Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan/kekuatan khusus. Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet.
c. Awasi masukan/pengeluaran dan berat badan secara periodik.
R/ Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
d. Dorong dan berikan periode istirahat yang sering.
R/ Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
e. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
R/
Maksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu kebutuhan
energy dari makan makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
5. Kurang
pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif,
informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap.
Tujuan: Klien akan menunjukkan peningkatan pengetahuan dengan kriteria:
menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan
pengobatan, melakukan perilaku/perubahan pola hidup untuk memperbaiki
kesehatan umum dan menurunkan resiko pengaktifan ulang tubercolosis,
mengidentifikasi gejala yang memerlukan evaluasi/intervebsi,
menggambarkan rencana untuk menerima perawatan kesehatan adekuat.
Intervensi:
a. Identifikasi
gejala yang harus dilaporkan ke perawat. Contoh hemoptisis, nyeri dada,
demam kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, vertigo.
R/ Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
b. Tekankan pentingnya memper-tahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan pemasukan cairan aedekuat.
R/ Memenuhi kebutuhan metabolik membantu meminimalkan kelemahan dan meningkatkan penambahan cairan dapat mengencerkan secret.
c. Jelaskan dosis obat frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan pengobatan.
R/ Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
d. Rujuk untuk pemeriksaan mata setelah memulai dan kemudian tiap bulan dan selama minum entabutol.
R/ Efek samping utama menurunkan penglihatan, tanda awal menurun-nya kemampuan untuk melihat warna hijau.
e. Dorong untuk tidak merokok.
R/ Meskipun merokok tidak merangsang berulangnya tuber-kolosis tetapi meningkatkan disfungsi pernapasan.
f. Kaji bagaimana tuberkolois ditularkan dan bahaya reaktivasi.
R/ Pengetahuan dapat menurunkan resiko penularan/reaktivasi ulang.
D. Implementasi
Implementasi
dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat
sebelumnya berdasarkan masalah keperawatan yang ditemukan dalam kasus,
dengan menuliskan waktu pelaksanaan dan respon klien.
E. Evaluasi Keperawatan
1. Bersihan jalan napas efektif
2. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas dapat dicegah atau teratasi
3. Resiko tinggi penyebaran infeksi atau aktivasi ulang dapat dicegah atau teratasi.
4. Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, aturan dan tindakan pencegahan penyakit dapat teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Kepeawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Edisi 3), Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Jakarta: Salemba Medika
0 komentar:
Posting Komentar