Imam Ali as dan al-Quran Karim



Allah swt berfirman:

لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ

“Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.
Pembahasan ini berkisar seputar Ali as dan al-Quran. Para pakar ulumul Quran dan mufassir sepakat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw berbeda tingkatan dalam potensi memahami dan menjangkau makna-makna al-Quran sebagaimana mereka relatif berbeda dalam mengambil manfaat dari curahan kesaksian turunnya wahyu, surat-surat dan kumpulan ayat-ayat yang diterima Nabi saw.
Mereka yang beriman kepada Rasulullah saw di Madinah tidak menyaksikan turunnya surat-surat Makkiyah (yang turun di Makkah) dan terhalang dari tafsir dan asbabun nuzul terutama efidence turunnya ayat-ayat.
Berkenaan dengan sebab turunnya ayat yang telah dibacakan, para pakar hadis dan sejarawan sepakat bahwa maksud dari “udhunun wa’iyah” adalah Ali bin Abi Thalib as. Sebagaimana Ibnu Jarir Thabari, Ibnu Abi Hatim, Wahidi (pengarang kitab “Asbabun Nuzul”), Ibnu Murdawaih, Ibnu Asakir dan yang lain mencatat dari ucapan Buraidah Aslami yang mana Rasulullah saw bersabda kepada Ali as:

إنّ اللّه أمرنى أن أدنيك و لا أقصيك و أن أعلّمك و أن تعي و حقّ لك أن تعي

Maka turunlah ayat ini «لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ » dan hal ini mereka nukil dari “Ad-Durrul Mantsur” tafsir Jalaluddin Suyuthi, dan “Asbabun Nuzul” hal 294 dan Abu Na’im dalam “Hilyatul Auliya’” juga mencatat yang demikian dan dengan nukilan hadis lain yang mana Nabi saw bersabda kepada Ali as:

“فأنت أذن واعية لعلمي”

Demikian juga dalam tafsiran ayat ini, Sa’id bin Mansur, Ibnu Jarir, penulis kitab sejarah dan tafsir Thabari, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Murdawaih mencatat riwayat ini tetapi secara mursal yang mana setelah turun ayat “وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ” Rasulullah saw bersabda: “Aku berharap dari Allah swt supaya menajamkan telinga kecerdasan Ali as seperti demikian”. Dan Ali as berkata: “Setelah itu tidak pernah aku mendengar sesuatu dari Nabi saw dan kemudian melupakannya”. Tsa’labi juga mencatat riwayat ini dari Abu Hamzah Tsumali secara musnad (bukan mursal).
Dalam surat al-Haaqqah sebelum ayat ini, Allah swt menceritakan perihal kaum-kaum yang telah lenyap dan juga nabi-nabi terdahulu dan ketika itu Allah swt berfirman: Untuk menjangkau dan memahami serta menjaga perihal-perihal penuh pelajaran (‘ibrah) pada sejarah para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu diperlukan telinga cerdas potensial dan menyeluruh. Oleh karena itu Ali as memahami al-Quran lebih baik dari seluruh sahabat Rasulullah saw dan mengajarkan kepada yang lain.
Ibnu ‘Athiyyah, Badruddin dan Suyuthi berkeyakinan bahwa pemuka para mufassir adalah Ali bin Abi Thalib as, sementara itu Ibnu Abbas belajar tafsir di sisi beliau as, dan setelah itu yang lain seperti Mujahid, Sa’id bin Jubair dan lain-lain mengikutinya dan menjadi murid Ibnu Abbas.
Amirul Mukminin Ali as disamping adalah orang terbaik dalam memahami, menghapal dan mempelajari al-Quran, juga termasuk pemuka para sahabat dalam pengumpulan dan penjelasan penafsiran al-Quran.
Ibnu Abbas mengenai ayat suci “إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ” berkata: Allah swt telah mengumpulkan al-Quran di hati dan dada Ali as dan beliau as sepeninggal Rasulullah saw mengumpulkan dan membukukannya selama 6 bulan.
Abu Na’im dalam “Hulyatul Auliya’” dan Khatib dalam “Arba’in” dari Suyuti dan dia dari Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan: Ketika Nabi saw meninggal dunia, aku bersumpah bahwa aku tidak akan menyingkapkan jubahku dari pundak hingga aku menyusun al-Quran dan aku melakukan hal tersebut.
Para ahli sejarah dan tafsir juga menyepakati bahwa hanya Ali as yang mengklaim mengumpulkan al-Quran sebelum orang lain berfikir untuk mengumpulkan dan menyusunnya.
Dalam al-Ihtijaj Thabarsi disebutkan bahwa Abu Dzar al-Ghiffari berkata: Ali as setelah wafat Rasulullah saw dan berdasarkan wasiat beliau saw, mengumpulkan dan menyusun al-Quran dan membawanya ke hadapan kaum Muhajirin dan Anshar serta memperlihatkan kepada mereka. Ketika salah seorang membukanya dan pada halaman pertama, ia melihat kemarahan-kemarahan orang-orang maka ia tidak setuju dengannya.
Proyek pertama yang dilakukan Imam Ali as berkenaan dengan al-Quran adalah bertekad bahwa beliau as tidak akan keluar rumah sehingga menyelesaikan pengumpulan dan penyusunan al-Quran. Hal ini sendiri adalah ancaman terbesar bagi orang-orang yang memiliki maksud menodai al-Quran Karim dan sebuah pedang tajam terhunus di atas kepala orang-orang yang ingin mengurangi dan menambahi al-Quran. Sejarah mencatat bahwa dalam ayat:

“إِنَّ كَثِيراً مِنَ الْأَحْبارِ وَ الرُّهْبانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوالَ النَّاسِ بِالْباطِلِ”

hingga ayat berikutnya yang berbunyi:

“وَ الَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَ الْفِضَّةَ وَ لا يُنْفِقُونَها فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذابٍ أَلِيمٍ”

ketika mereka ingin menghilangkan «واو» dari ujung «الّذين» hingga merubah arti ayat dan ingin menunjukkan bahwa «الّذين» ini yakni orang-orang yang menyimpan emas dan perak hanya para pendeta dan pastur saja bukan orang-orang yang berada di kalangan masyarakat Islam yang melakukan perbuatan pengkhianatan seperti ini, Abu Dzar, seorang sahabat agung menghunuskan lidah tajamnya di atas kepala mereka sehingga tahrif ini tidak terlaksana. Akan tetapi proyek Ali as lebih tinggi dari hal-hal ini.
Beliau as (menurut Abu Rafi’) duduk di rumah dan menyusun al-Quran sebagaimana turunnya (bukan berarti bahwa beliau as mengumpulkan sekumpulan ayat dan surat menurut urutan turunnya karena hal tersebut telah terlaksana, dan urutan yang sekarang ini keluar dari ikhtiar manusia bahkan Nabi saw, akan tetapi menentukan sebab turun dan mengenai siapa-siapa dan kapan ayat-ayat turun dan hal ini adalah keterjagaan al-Quran dan arti-artinya dari bahaya tahrif maknawi. Oleh karena itu beliau as memberikan motifasi kepada murid-murid untuk mempelajari dalam tafsir sebab turun dan urutan turun ayat dan surat dan supaya mengajarkan kepada yang lain berkenaan dengan siapa-siapa, kejadian-kejadian apa dan kondisi-kondisi apa ayat-ayat diturunkan). Dari Ibnu Hajar juga dinukil kandungan yang demikian dan riwayat ini dicatat oleh Ibnu Abi Dawud Nasa’i dengan sanad shahih dari Abdullah bin Umar.
Husain bin Ali bin Abi Thalib as juga berkata, Imam Ali as dalam sebuah ungkapan mengatakan: Bertanyalah kepadaku mengenai al-Quran sehingga aku katakan bahwa ayat-ayatnya turun berkenaan dengan siapa-siapa saja dan kapan.
Adapun untuk memahami urgensitas penjelasan urutan, kapan dan kondisi turunnya ayat-ayat, kami berikan dua contoh; salah satunya berkenaan dengan ahkam (hukum-hukum) dan satu lagi menyangkut sebab turun.
Dalam surat al-Baqarah kita memiliki dua ayat berkenaan dengan kematian dan hukum isteri-isteri yang salah satunya nasikh (menghapus) dan yang lain mansukh (yang dihapus). Akan tetapi ayat nasikh berada sebelum ayat mansukh (ayat nasikh adalah ayat 234 dan ayat mansukh 240). Untuk mengetahui manakah ayat nasikh dan manakah mansukh perlu mengenal persyaratan-persyaratan turunnya ayat, dan tentu saja semua orang mengetahui hukum nasikh dan mansukh semenjak masa pengumpulan dan penyusunan al-Quran hingga sekarang, dan malaikat wahyu juga menyampaikan tempat atau posisi ayat-ayat kepada Nabi saw. Dari Ibnu Abbas bahwa ketika ayat tertentu turun, malaikat wahyu berkata kepada Nabi saw, letakkanlah ayat ini di ujung ayat ini. Bagaimanapun, mengetahui urutan turunnya ayat-ayat memiliki urgensitas luar biasa dari sisi bahwa ayat nasikh dari mansukh dapat dikenal.
Contoh berikutnya mengenai sebab turunnya ayat. Sejarah perang Uhud dimuat dalam surat Aali ‘Imran. Mengenai bagaimana terjadinya perang Uhud ditanyakan kepada Abdurrahman bin ‘Auf atau sahabat lain Rasulullah saw dan ia mengembalikan kepada ayat-ayat setelah ayat 120 surat Aali ‘Imran, dan berkata: Jika engkau membacanya maka seolah-olah engkau ikut serta dalam perang ini bersama kami.
Di antara kejadian-kejadian perang Uhud adalah pada mulanya kemenangan diraih oleh kaum Muslimin akan tetapi setelah pengosongan lereng gunung oleh para pemanah dan serangan pasukan berkuda tentara musuh ke tempat itu, maka tekanan musuh menjadi berlimpah. Nabi saw memberikan perintah supaya kaum Muslimin naik dari lereng gunung depan dan bersandar ke gunung serta mundur karena ketidakkompakan sedikit pasukan.
Nabi saw berada di barisan belakang tentara dan beliau saw juga menaiki lereng gunung, akan tetapi beliau saw berada dalam serangan bahaya pasukan berkuda musuh yang sedang beraksi melakukan pembunuhan tanpa belas kasih.
Ayat 153 menunjukkan hal tersebut:

“إِذْ تُصْعِدُونَ وَ لا تَلْوُونَ عَلى أَحَدٍ وَ الرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِي أُخْراكُمْ فَأَثابَكُمْ غَمًّا بِغَمٍّ لِكَيْلا تَحْزَنُوا عَلى ما فاتَكُمْ وَ لا ما أَصابَكُمْ وَ اللَّهُ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ”

“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Hingga di sini tidak ada permasalahan dan ayat-ayat menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut, akan tetapi secara tiba-tiba Allah swt mengecam orang-orang yang berpaling dari musuh dan melarikan diri, ayat 155:
“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu [pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum musyrikin], hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau).
Maka jelas bahwa mereka adalah sekelompok dari tentara Islam, akan tetapi siapa-siapa mereka tersebut harus dijelaskan oleh pribadi tinggi seperti Ali as.
Dalam sirah (sejarah) paling kuno yang pengarangnya wafat pada tahun 207 H dan sirah Ibnu Ishaq terlihat, al-Maghazi Ibnu Syihab az-Zuhri dapat disaksikan dan seluruh riwayat menjadi bahan kajian dan dicatat serta dinyatakan: Ketika berita tentang terbunuhnya Nabi saw tersebar melalui lidah kaum kafir di tengah-tengah Muslimin, mereka bercerai berai dan sebagian telah sampai di Madinah dan orang pertama yang datang ke Madinah dan menceritakan berita tentang terbunuhnya Nabi saw adalah Sa’d bin Utsman yang berlaqab Abu ‘Ubadah. Setelah itu sekelompok lain masuk ke kota menuju isteri-isteri mereka. Para isteri mencaci mereka dan mengatakan, kalian melarikan diri dari sisi Rasulullah saw. Salah seorang wanita adalah Ummu Aiman yang dalam menghadapi sekelompok orang melemparkan tanah ke muka mereka, dan mengatakan kepada salah seorang dari mereka: Kemarilah, ambil lipatan ini dan lipatlahlah serta berikan pedangmu kepadaku. Setelah itu ia pergi ke Uhud bersama sekelompok wanita.
Namun pada arah berlawanan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqqash dan sekelompok dari kaum Anshar yang nama-nama mereka tercatat seluruhnya dalam sejarah berperang melawan musuh dengan gigih dan menjaga Nabi saw.
Nashibah puteri Ka’b Ummu ‘Umarah yang datang ke medan perang sebagai pemberi minum dan perawat ketika melihat gigi dan dahi Nabi saw retak, dada Nabi saw terluka, ia mengangkat pedang dan membunuh beberapa orang. Ia sendiri dan beberapa orang anggota keluarganya bertahan dalam perang itu.
Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat pemberani, menjadikan tangannya sebagai tameng supaya pedang Ibnu Qumaishah tidak turun di pundak Nabi saw sehingga jarinya terpotong dan sampai akhir umurnya menjadi saksi pembelaannya kepada Nabi saw. Dalam kondisi seperti itu Nabi saw terjatuh ke dalam sebuah lubang dari lubang-lubang yang digali oleh Abu ‘Amir Rahib (yang dijuluki oleh Nabi saw sebagai munafik) dan ditutupi permukaannya, seorang bernama Syimas bin Utsman menjadikan dirinya sebagai tameng melindungi Nabi saw di hadapan pedang-pedang yang menebas ke arah Nabi saw dan syahid di tempat itu. Mereka adalah para pahlawan kejadian tersebut. Akan tetapi sekelompok orang juga melarikan diri sehingga Nabi saw bersabda kepada Nashibah, pahlawan wanita yang bekas-bekas tebasan pedang musuh membekas pada tubuhnya hingga akhir hayatnya: “Perbuatanmu lebih baik daripada orang-orang yang melarikan diri (disebutkan nama-nama mereka).”
Di lobang tersebut, sementara lutut suci Nabi saw terluka dan beliau saw tidak dapat berdiri, Ali as mengambil tangan beliau saw dan Thalhah meraih bawah pundak beliau saw dan pergi ke atas lereng gunung, dan ketika itulah kaum Muslimin juga sampai, dan mengelilingi serta melindungi Nabi saw dari musuh.
Apapun yang terjadi, sya’n nuzul secara detail menjelaskan bahwa siapakah orang-orang tersebut dan ayat-ayatnya berkata apa. Hal ini sedemikian jeli hingga dalam perang ini salah seorang dari kaum Muslimin yang memiliki permusuhan dengan yang lain membunuhnya secara tiba-tiba. Setelah beberapa waktu berlalu, ketika mereka menangkapnya Nabi saw menghakiminya dan menghukumnya dengan hukuman mati. Apapun yang terjadi, orang-orang yang bertahan, para pahlawan dan orang-orang yang melarikan diri namanya tertulis dengan terperinci dalam tafsir-tafsir dan juga dalam kitab-kitab hadis shihah terutama shahih Bukhari.
Khalid bin Walid (panglima tentara pasukan berkuda yang menyerang dan membunuh banyak kaum Muslimin) setelah beberapa waktu ketika masuk Islam berkata di Syam: Aku bersyukur kepada Allah karena telah memeluk Islam dan Allah telah memberikan hidayat kepadaku, dan setelah itu berkata, kesaksianku dalam perang Uhud adalah bahwa kaum Muslimin melarikan diri, aku melihat seorang kerabat yang melarikan diri sendirian. Aku berada dalam kepemimpinan tentara berkuda yang kuat. Karena aku masih berkerabat dengannya, maka aku khawatir bila aku mendekatinya, maka tentara akan menangkap dan membunuhnya, oleh karena itu aku membelokkan arah sehingga ia tidak terlihat tentara.
Demikian juga dalam sirah Ibnu Hisyam, dalam kitab Waqidi dan seluruh shihah terdapat bahwa Anas bin Nadhar, paman Anas bin Malik, melihat seorang sahabat yang sedang duduk-duduk dengan sekelompok orang. Ia bertanya kenapa mereka duduk, mereka menjawab, Rasulullah saw telah terbunuh. Ia berkata, setelah beliau saw untuk apa kalian ingin hidup. Bangkitlah dan berperanglah demi apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah hingga terbunuh. Ketika itu sahabat tersebut berdiri dan berperang hingga terbunuh dan tampak puluhan luka di badannya.
Di sinilah jelas bahwa penulisan sya’n nuzul oleh Ali as memberikan manfaat apa. Supaya hak para pahlawan yang membela Nabi saw seperti Thalhah bin Ubaidillah tidak disia-siakan dan jelas siapa saja yang melarikan diri. Maka ketika itu sekelompok penulis resep berkhianat dan menghapus sebagian nama-nama. Silahkan amati nama-nama yang kami nukil dari kitab Waqidi ini apa yang mereka lakukan dan usaha Amirul Mukminin Ali as bernilai apa dalam menghapus kepalsuan-kepalsuan. Bila ini tidak ada, kita tidak dapat memahami kejadian-kejadian yang berlangsung. Akan tetapi mereka tidak membiarkan tafsir Amirul Mukminin as dengan urutan turun, sebab dan kejadian-kejadiannya tersebar. Sebagian sahabat setia mempelajari sebagian hal tersebut dan terdapat dalam sejarah dan tafsir-tafsir seperti kisah Anas bin Nadhar.
Sangat disayangkan sekali mereka ingin menyingkirkan orang yang membela dan menyelamatkan Nabi saw dari kebinasaan tersebut dan ingin meninggikan orang-orang yang melarikan diri. Mereka tidak membiarkan keterangan al-Quran dan tafsir Ali bin Abi Thalib as tersebar. Imam Ali as setelah perang Jamal, ketika memasuki Bashrah, datanglah seorang Badui dan menjelek-jelekkan Thalhah. Imam Ali as menegornya dan berkata, engkau tidak ada dalam perang Uhud dan tidak melihat bagaimana ia berkhidmat dan kedudukan dan tingkatan apa yang dimiliki di sisi Allah swt. Orang tersebut merasa malu dan terdiam. Orang lain bertanya, khidmat apa yang dilakukan? Beliau as menjawab, ia menjadikan dirinya sebagai perisai Nabi saw sementara dari setiap arah datang tebasan pedang dan tusukan tombak. Dari satu arah aku dan dari arah lain Abu Dujanah membuat mundur para penyerang sementara Sa’d bin Abi Waqqash dari arah lain. Aku dengan sendirian membuat mundur tentara berkuda yang dikomando oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal sementara mereka mengepungku dari setiap penjuru dan untuk kedua kalinya aku mendesak mereka mundur dan aku kembali…
Di sinilah penjelasan dan tafsir Ali bin Abi Thalib as menyelamatkan al-Quran dari perubahan maknawi, dan sebagaimana mestinya beliau as menyampaikannya kepada generasi-generasi dan murid-murid beliau as seperti Ibnu Abbas dan yang setelahnya membawanya ke hadapan kita.
Ya Allah! Jadikanlah kami menghargai nikmat wilayah Amirul Mukminin Ali as. Amin Ya Rabbal ‘alamin.
disunting :Jalaluddin Farsi
www.nurmadinah.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger