Konsep Medis
A. Pengertian
Diabetes
Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Soegondo Sidartawan, 2005).
B. Etiologi
1. Diabetes Melitus tipe I
Diabetes Melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi
faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya,
infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.
a. Faktor-faktor genetik
Penderita
diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecendrungan genetik ke arah terjadinya Diabetes
Melitus tipe I. Kecendrungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA (human leococyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen trasplantasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor-faktor imunologi
Pada
diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini
merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing (Smeltzer Suzanne C, 2001).
c. Virus dan bakteri
Virus
penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui
mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini mengakibatkan
destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui
reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta.
Diabetes Melitus akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun, para
ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.
d. Bahan toksik atau beracun
Bahan
beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan,
pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur).
Bahan lain adalah sianida yang berasal dari singkong (Maulana Mirza,
2009).
2. Diabetes Melitus tipe II
Mekanisme
yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin
(Smeltzer Suzanne C, 2001).
Selain
itu terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan
proses terjadinya diabetes tipe II. Menurut Hans Tandra (2008),
faktor-faktor ini adalah:
a. Ras atau Etnis
Beberapa
ras tertentu, seperti suku Indian di Amerika, Hispanik, dan orang
Amerika di Afrika, mempunyai resiko lebih besar terkena diabetes tipe
II. Kebanyakan orang dari ras-ras tersebut dulunya adalah pemburu dan
petani dan biasanya kurus. Namun, sekarang makanan lebih banyak dan
gerak badannya makin berkurang sehingga banyak mengalami obesitas sampai
diabetes.
b. Obesitas
Lebih
dari 8 diantara 10 penderita diabetes tipe II adalah mereka yang
kelewat gemuk. Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan
makin resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh atau
kelebihan berat badan terkumpul di daerah sentral atau perut (central obesity). Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah.
c. Kurang Gerak Badan
Makin
kurang gerak badan, makin mudah seseorang terkena diabetes. Olahraga
atau aktivitas fisik membantu kita untuk mengontrol berat badan. Glukosa
darah dibakar menjadi energi. Sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif
terhadap insulin. Peredaran darah lebih baik. Dan resiko terjadinya
diabetes tipe II akan turun sampai 50%.
d. Penyakit Lain
Beberapa
penyakit tertentu dalam prosesnya cenderung diikuti dengan tingginya
kadar glukosa darah. Akibatnya, seseorang juga bisa terkena diabetes.
Penyakit-penyakit itu antara lain hipertensi, penyakit jantung koroner,
stroke, penyakit pembuluh darah perifer, atau infeksi kulit yang
berlebihan.
e. Usia
Resiko
terkena diabetes akan meningkat dengan bertambahnya usia, terutama di
atas 40 tahun. Namun, belakangan ini, dengan makin banyaknya anak yang
mengalami obesitas, angka kejadian diabetes tipe II pada anak dan remaja
pun meningkat.
C C. Patofisiologi
1. Diabetes Melitus tipe I
Bentuk
diabetes ini terjadi karena kekurangan insulin yang berat akibat
destruksi autoimun sel-sel β dalam pulau-pulau Langerhans pankreas (islet β cells).
Diabetes tipe I paling sering terjadi pada usia kanak-kanak,
bermanifestasi pada usia pubertas, dan berjalan progresif mengikuti
pertambahan usia.
a. Mekanisme destruksi sel β
1) Limfosit T bereaksi terhadap antigen sel β dan menyebabkan kerusakan sel.
Sel-sel T ini meliputi:
a) Sel-sel T CD4+ dari subkelompok TH1
yang menyebabkan jejas jaringan dengan mengaktifkan sel-sel makrofag,
sementara sel-sel makrofag menyebabkan kerusakan dalam bentuk respons
hipersensitivitas tipe-lambat yang khas.
b) Limfosit T sitotoksik CD8+ yang membunuh langsung sel β dan juga menyekresi sitokin yang mengaktifkan makrofag.
2) Sitokin
yang diproduksi secara lokal merusak sel-sel β. Diantara sitokin yang
terlibat dalam jejas sel adalah IFN-γ, dihasilkan oleh sel 7 dan TNF
serta IL1 yang diproduksi oleh sel-sel makrofag yang diaktifkan selama reaksi imun.
3) Autoantibodi terhadap
sel-sel pulau dan insulin juga terdeteksi dalam darah pada 70% hingga
80% pasien. Autoantibodi tersebut bersifat reaktif dengan sejumlah
antigen sel β, yang meliputi enzim Glutamic Acid Decarboxylase (GAD).
b. Kerentangan genetik
Diabetes
tipe I memiliki pola korelasi genetik yang kompleks dengan sedikitnya
20 lokus genetik yang berpotensi menimbulkan perubahan toleransi imun
hospes yang akhirnya menyebabkan autoimunitas.
c. Faktor lingkungan
Beberapa
virus turut terlibat sebagai pemicu potensial untuk terjadinya serangan
autoimun; virus tersebut meliputi virus coxsackie, virus parotitis,
virus campak, virus rubela. Salah satu postulat mengemukakan bahwa
virus-virus tersebut memproduksi protein yang mirip antigen-sendiri dan
respon imun terhadap protein virus bereaksi silang dengan jaringan
sendiri (mimikri molekuler).
2. Diabetes Melitus tipe II
Berbeda
dengan tipe I, pada Diabetes Melitus tipe II tidak ada bukti yang
menunjukkan dasar autoimun. Dua defek metabolik utama yang menandai
diabetes tipe II adalah resistensi insulin dan disfungsi sel β.
a. Resistensi insulin
Resistensi
insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk
berespons terhadap hormon insulin. Sejumlah penelitian fungsional pada
orang-orang dengan resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan
kuantitatif dan kualitatif pada lintasan penyampaian sinyal insulin yang
meliputi penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan fosforilasi
reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar
zat-zat antara yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin.
Resistensi insulin diakui sebagai sebuah fenomena yang kompleks dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik serta lingkungan.
Diantara
faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki korelasi yang paling kuat.
Resiko terjadinya diabetes meningkat seiring indeks massa tubuh (ukuran
untuk menentukan kandungan lemak tubuh) meningkat, dan keadaan ini
menunjukkan korelasi dosis-respons antara lemak tubuh dan resistensi
insulin. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi resistensi insulin pada
obesitas meliputi kadar asam lemak bebas yang tinggi di dalam darah
yang beredar dan intrasel.
b. Disfungsi sel β
Disfungsi
sel β bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat dalam
menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia. Disfungsi sel β
bersifat kualitatif (hilangnya pola sekresi insulin normal yang
berayun [osilasi] dan pulsatil serta pelemaan fase pertama sekresi
insulin cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa plasma) maupun kuantitatif
(berkurangnya massa sel β, degenerasi pulau Langerhans, dan pengendapan
amiloid dalam pulau Langerhans) (Mitchell Richard N, 2008).
D D. Menifestasi Klinik
Manifestasi
klinis Diabetes Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang
ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price Sylvia Anderson 2005).
Selain itu, menurut Hans Tandra (2008), manifestasi klinis Diabetes Melitus yaitu:
1. Berat Badan Turun
Sebagai
kompensasi dari dehidrasi dan banyak minum, seseorang akan mulai banyak
makan. Memang pada mulanya berat badan makin meningkat, tetapi lama
kelamaan otot tidak mendapat cukup glukosa untuk tumbuh dan mendapatkan
energi. Maka jaringan otot dan lemak harus dipecah untuk memenuhi
kebutuhan energi. Berat badan menjadi turun, meskipun banyak makan.
Keadaan ini makin diperburuk oleh adanya komplikasi yang timbul
kemudian.
2. Lemah
Keluhan
diabetes dapat berupa rasa capek, lemah, dan nafsu makan menurun. Pada
diabetes, gula bukan lagi sumber energi karena glukosa tidak dapat
diangkut kedalam sel untuk menjadi energi.
3. Mata kabur
Glukosa
darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari dalam lensa mata
sehingga lensa menjadi tipis. Mata seseorang pun mengalami kesulitan
untuk fokus dan penglihatan jadi kabur. Apabila seseorang bisa
mengontrol glukosa darah dengan baik, penglihatan bisa membaik karena
lensa kembali normal.
4. Luka yang sukar sembuh
Penyebab
luka yang sukar sembuh adalah: (1) infeksi yang hebat, kuman, atau
jamur yang mudah tumbuh pada kondisi gula darah yang tinggi; (2)
kerusakan dinding pembuluh darah, aliran darah yang tidak lancar pada
kapiler (pembuluh darah kecil) yang menghambat penyembuhan luka; dan (3)
kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan penderita
diabetes tidak menaruh perhatian pada luka dan membiarkannya makin
membusuk.
5. Rasa kesemutan
Kerusakan
saraf yang disebabkan oleh glukosa yang tinggi merusak dinding pembuluh
darah dan akan mengganggu nutrisi pada saraf. Karena yang rusak adalah
saraf sensoris, keluhan yang paling sering muncul adalah rasa semutan
atau tidak berasa, terutama pada tangan dan kaki. Selanjutnya bisa
timbul rasa nyeri pada anggota tubuh, betis, kaki, tangan, dan lengan.
6. Gusi merah dan bengkak
Kemampuan
rongga mulut seseorang menjadi lemah untuk melawan infeksi. Maka gusi
membengkak dan menjadi merah, muncul infeksi, dan gigi tampak tidak rata
dan mudah tanggal.
7. Kulit terasa kering dan gatal
Kulit
terasa kering, sering gatal, infeksi. Keluhan ini biasanya menjadi
penyebab seseorang datang memeriksakan diri ke dokter kulit, lalu baru
ditemukan adanya diabetes.
8. Mudah kena infeksi
Leukosit
(sel darah putih) yang biasa dipakai untuk melawan infeksi tidak dapat
berfungsi dengan baik jika glukosa darah tinggi.
9. Gatal pada kemaluan
Infeksi
jamur juga “menyukai” suasana glukosa tinggi. Vagina mudah terkena
infeksi jamur, mengeluarkan cairan kental putih kekuningan, serta timbul
rasa gatal.
E E. Penatalaksanaan Medik
Tujuan
utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi
vaskulr serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes
adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia
dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. (Smeltzer Suzanne C,
2002).
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes:
1. Diet
Diet
dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
nutrisi pada penderita diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita
diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan yaitu:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin, mineral).
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai.
c. Memenuhi kebutuhan energi.
d. Mencegah
fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar
glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis.
e. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.
2. Latihan
Olahraga yang dipilih sebaiknya yang melibatkan otot-otot besar seperti kaki, tangan dan bahu dengan memperhatikan:
3. Pemantauan
Berbagai
metode tersedia untuk melakukan pemantauan mandiri kadar glukosa.
Metode tersebut mencakup pengambilan setetes darah dari ujung jari
tangan, aplikasi darah tersebut pada strip yang sebelumnya dimasukkan ke
dalam alat pengukur. Kemudian darah tersebut dibiarkan selama
pelaksanaan tes. Alat pengukur akan memperlihatkan kadar glukosa darah
dalam 1-2 menit.
4. Terapi
a. Pemberian obat
Macam-macam tablet oral untuk menurunkan glukosa darah biasa disebut Oral Anti Diabetes (OAD) atau Oral Hypoglycemic Agents (OHA). Setiap macam OAD mempunyai susunan kimia yang berbeda dan cara yang berlainan dalam menurunkan glukosa.
b. Pemberian insulin
5. Pendidikan
Pemberian informasi yang mencakup:
a. Patofisiologi sederhana
1) Definisi diabetes (dengan kadar glukosa darah yang tinggi).
2) Batas-batas glukosa darah yang normal.
3) Efek terapi insulin dan latihan (penurunan kadar glukosa darah).
4) Efek makanan.
b. Cara-cara terapi
1) Pemberian insulin.
2) Dasar-dasar diet (misalnya kelompok makanan dan jadual makan).
3) Pemantauan kadar glukosa darah, katon urine.
c. Pengenalan, penanganan dan pencegahan komplikasi akut (Smeltzer Suzanne C, 2002).
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Menurut
Suzanne C. Smeltser (2002), riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
difokuskan pada tanda dan gejala hiperglikemia dan pada faktor-faktor
fisik, emosional, serta sosial yang dapat mempengaruhi kemampuan pasien
untuk mempelajari dan melaksanakan berbagai aktivitas perawatan mandiri
diabetes.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang lazim muncul pada klien dengan Diabetes Melitus adalah :
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebihan: diare, muntah.
Ditandai
dengan: peningkatan haluaran urine, kelemahan; haus; penurunan berat
badan tiba-tiba, kulit/membrane mukosa kering, turgor kulit buruk.
2. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan
insulin (penurunan ambilan dan penggunaan glukosa oleh jaringan
mengakibatkan peningkatan metabolisme protein/lemak), penurunan masukan
oral; anoreksia, mual.
Ditandai dengan: melaporkan masukan makanan takadekuat, penurunan berat badan; kelemahan, kelelahan, tonus otot buruk, diare.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.
Ditandai dengan: tidak dapat diterapkan adanya tanda dan gejala.
4. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan/atau elektrolit.
Ditandai dengan: tidak dapat diterapkan adanya tanda dan gejala.
5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik, perubahan kimia darah: insufisiensi insulin.
Ditandai
dengan: kurang energi yang berlebihan, ketidakmampuan untuk
mempertahankan rutinitas biasanya, penurunan kinerja, kecendrungan untuk
kecelakaan.
C. Rencana Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebihan: diare, muntah.
Tujuan:
Klien akan menunjukkan hidrasi adekuat dengan kriteria: tanda vital
stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler
baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam
batas normal.
Intervensi:
a. Dapatkan
riwayat pasien/orang terdekat sehubungan dengan lamanya/intensitas dari
gejala seperti muntah, pengeluaran urine yang sangat berlebihan.
R/
Memantau dalam memperkirakan kekurangan volume total. Tanda dan gejala
mungkin sudah ada pada beberapa waktu sebelumnya (beberapa jam sampai
beberapa hari).
b. Pantau tanda-tanda vital
R/ Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
c. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
R/ Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat.
d. Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urine.
R/ Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan.
e. Ukur berat badan setiap hari.
R/
Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
f. Pertahankan
untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang
dapat ditoleransi jantung jika pemasukan cairan melalui oral sudah dapat
diberikan.
R/ Mempertahankan hidrasi/volume sirkulasi.
Kolaborasi
g. Panatu pemeriksaan laboratorium seperti: hematokrit (Ht), BUN/kreatinin, osmolalitas darah, natrium, kalium.
R/ Mengkaji tingkat hidrasi dan seringkali meningkat akibat hemokonsentrasi yang terjadi setelah diuresis osmotik.
2. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan
insulin (penurunan ambilan dan penggunaan glukosa oleh jaringan
mengakibatkan peningkatan metabolisme protein/lemak), penurunan masukan
oral; anoreksia, mual.
Tujuan:
Klien mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat, mendemonstrasikan
berat badan stabil atau penambahan ke arah rentan biasanya/yang
diinginkan dengan nilai laboratorium normal.
Intervensi:
a. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
R/ Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorpsi dan utilisasinya).
b. Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/perut kembung, mual.
R/
Hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat
menurunkan motilitas/fungsi lambung (distensi atau ileus pralitik) yang
akan mempengaruhi pilihan intervensi.
c. Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural.
R/ Jika makan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, kerja sama ini dapat diupayakan setelah pulang.
Kolaborasi
d. Lakukan pemeriksaan gula darah dengan menggunakan “finger stick”.
R/ Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat (menunjukkan keadaan saat dilakukan pemeriksaan).
e. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH dan HCO3.
R/
Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi
insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal, glukosa
kemudian dapat masuk kedalam sel dan digunakan untuk sumber kalori.
Ketika hal ini terjadi, kadar aseton akan menurun dan asidosis dapat
dikoreksi.
f. Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan metode IV secara intermiten atau secara kontinu.
R/
Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula
dapat membantu memindahkan glukosa ke dalam sel. Pemberian melalui IV
merupakan rute pilihan utama karena absorpsi dari jaringan subkutan
mungkin tidak menentu/sangat lambat.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.
Tujuan: Klien mampu mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi.
Intervensi:
a. Observasi
tanda-tanda infeksi dan peradangan, seperti demam, kemerahan, adanya
pus pada luka, sputum purulen, urine warna keruh atau berkabut.
R/
Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan
keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
b. Pertahankan teknik aseptic pada prosedur invasi
R/ Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
c. Berikan
perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh, masase daerah
tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen kering dan tetap
kencang (tidak berkerut).
R/
Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada
peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit/iritasi kulit dan
infeksi.
d. Auskultasi bunyi napas.
R/
Ronki mengindikasikan adanya akumulasi sekret yang mungkin berhubungan
dengan pneumonia/bronchitis (mungkin sebagai pencetus dari DKA [Diabetik Ketoasidosis]).
e. Posisikan pasien pada posisi semi-Fowler.
R/ Memberikan kemudahan bagi paru untuk berkembang; menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
f. Berikan tisu dan tempat sputum pada tempat yang mudah dijangkau untuk penampungan sputum atau sekret yang lainnya.
R/ Mengurangi penyebaran infeksi.
Kolaborasi
g. Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas sesuai dengan indikasi
R/ Untuk mengidentifikasi organisme sehingga dapat memilih/memberikan terapi antibiotik yang tepat.
4. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan/atau elektrolit.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan tingkat mental biasanya, mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
Intervensi:
a. Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
R/ Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.
b. Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
R/ Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungannya.
c. Evaluasi lapang pandang penglihatan sesuai dengan indikasi.
R/
Edema/lepasnya retina, hemoragis, katarak, atau paralisis otot
ekstraokuler sementara mengganggu penglihatan yang memerlukan terapi
korektif dan/atau perawatan penyokong.
d. Berikan tempat tidur yang lembut.
R/ Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan kerusakan kulit karena panas.
Kolaborasi
e. Pantau nilai laboratorium, seperti glukosa darah, osmolalitas darah, Hb/Ht, ureum kreatinin.
R/ Ketidakseimbangan nilai laboratorium ini dapat menurunkan fungsi mental.
5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik, perubahan kimia darah: insufisiensi insulin.
Tujuan:
Klien mengungkapkan peningkatan tingkat energi, menunjukkan perbaikan
kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi:
a. Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
R/ Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
b. Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/tanpa diganggu.
R/ Mencegah kelelahan yang berlebihan.
c. Pantau nada, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas.
R/ Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologi.
d. Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat dan sebagainya.
R/ Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan energi pada setiap kegiatan.
e. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
R/ Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi
dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat
sebelumnya berdasarkan masalah keperawatan yang ditemukan dalam kasus,
dengan menuliskan waktu pelaksanaan dan respon klien.
E. Evaluasi Keperawatan
a. Kekurangan
volume cairan teratasi dengan kriteria tanda vital stabil, nadi perifer
dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine
tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
b. Kebutuhan
nutrisi dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan kriteria
mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat, mendemonstrasikan berat badan
stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya/yang diinginkan dengan
nilai laboratorium normal.
c. Resiko
tinggi terhadap infeksi atau aktivasi ulang dapat dicegah atau teratasi
dengan kriteria klien mampu mengidentifikasi intervensi untuk
mencegah/menurunkan resiko infeksi.
d. Resiko
tinggi terhadap perubahan sensori-perseptual dapat dicegah atau
teratasi dengan kriteria klien mampu mempertahankan tingkat mental
biasanya, mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
e. Kelelahan
dapat dicegah atau teratasi dengan kriteria klien mengungkapkan
peningkatan tingkat energi, menunjukkan perbaikan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 2000, Rencana Asuhan Kepeawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, (Edisi 3), Jakarta, EGC.
Maulana Mirza, 2009, Mengenal Diabetes Melitus, Jogjakarta, Katahati.
Mitchell Richard N, 2008, Buku Saku Dasar Patologis Penyakit, Jakarta , EGC.
Smeltzer Suzanne C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, (Edisi 8), Jakarta, EGC.
Soegondo Sidartawan, 2005, Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
Tandra Hans, 2008, Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes Melitus, Jakarta, PT gramedia pustaka utama.
Price Sylvia Anderson, 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta, EGC.
0 komentar:
Posting Komentar