Karena keberanian dan keahliannya sebagai petarung, Imam Ali selalu
dipilih oleh Rasulullah SAW untuk memberi atau menerima tantangan
berduel yang datang dari musuh. Pada suatu pertempuran, Imam Ali
berhadapan dengan musuh yang terlihat menyeramkan, tetapi itu tak
menjadi masalah karena beliau pernah mengalahkan prajurit yang lebih
menyeramkan sebelumnya.
Perlahan kedua orang itu saling berputar sembari memegang gagang
pedang mereka. Mata mereka saling bertatap, mengambil langkah dan
megatur strategi dengan sangat hati-hati. Karena setiap ksatria
berpengalaman tahu bahwa prajurit yang berhati-hati biasanya bisa hidup
lebih lama.
Bila untuk menghabisi lawanmu butuh kesabaran maka bersabarlah. Imam
Ali memilih untuk menangkis serangan lawannya dan tak bergerak
menyerang. Berbeda dengan beliau, sang musuh terus menerus menyerang dan
Imam Ali mulai menangkap rasa frustasi yang dirasakan sang musuh
melalui tatapan matanya. Sang musuh melancarkan serangan bertubi-tubi
kepada Imam Ali.
Karena tak bisa menahan amarah dan rasa putus asanya, sang musuh
mulai bertindak ceroboh dalam serangannya. Pada saat itulah Imam Ali
menemukan waktu yang tepat untuk menangkis serangan musuhnya yang
terlalu jauh di atas kepalanya, dan kemudian melakukan dorongan.
Sang musuh terjatuh ke tanah, debu di sekitarnya berhamburan, dan
pedangnya terlempar jauh dari jangkauannya. Imam Ali berdiri dengan
gagah di atas sang musuh yang sudah tak berkutik, sambil mengarahkan
pedangnya ke tubuh sang musuh. Bisa dipastikan Imam Ali akan dapat
dengan segera memenangi duel sengit itu.
Namun tiba-tiba saja, sang musuh yang sudah tinggal menunggu mati, meludahi muka Imam Ali. Dan kemudian ia berkata :
“Kalau kau mau, habisi aku!!!”, bentak pria itu.
“Lakukanlah, karena aku tak akan pernah menganut agama yang kau bela!”
Meludahi muka seseorang merupakan suatu penghinaan besar, dan
meskipun pria itu sudah diambang pintu kematian, tampaknya dia akan
dihabisi dengan cara yang lebih kejam. Setidaknya itulah yang
terpikirkan dalam benak prajurit lain yang menyaksikan duel itu. Karena
memang begitulah yang biasa terjadi dalam duel.
Tapi serangan mematikan itu tak pernah terjadi. Alih-alih menyerang
pria itu, Imam Ali berdiam selama beberapa saat, lalu secara mengejutkan
menurunkan pedangnya.
“Ayo habisi aku !!!”, ejek pria itu.
“Kenapa kau ragu? Apa kau kurang jantan untuk membunuh??!!”
Dengan tenang kemudian Imam Ali menjawab:
“Awalnya aku akan menghabisimu. Tapi saat di awal kita mulai berduel,
aku berperang demi Islam sebagaimana Allah perintahkan pada kami di
kitab suci-Nya.”
“Itulah satu-satunya alasanku berperang, karena aku sendiri benci kekerasan dan membunuh.”
“Aku berperang bukan karena aku ingin, atau untuk melihat musuhku
terbantai. Aku berperang dan terkadang aku membunuh, demi mengemban
tugas suci. Tiada yang lebih membuatku senang daripada menyambutmu
sebagai seorang saudara dalam Islam, karena aku tidak mendapatkan
kepuasan ataupun kesenangan dengan menghabisimu. Aku tak mencari pujian
ataupun hadiah. Cukup bagiku untuk mengetahui bahwa aku sudah melakukan
apa yang Allah kehendaki.”
“Tetapi saat kau meludahi wajahku, aku merasa terhina sebagai seorang
Arab dan marah sebagai seorang lelaki. Selama beberapa saat,
kehormatanku ternodai dan harga diriku terinjak. Sekejap saja aku
merasakan amarah menyusuri seluruh diriku dan aku ingin menghabisimu
karena hinaan itu.”
“Namun syukur aku tidak melakukannya, karena secepat itu pula aku
sadar bahwa dengan melakukan hal demikian, hanyalah akan memuaskan
amarah yang menggelak dalam diriku, sehingga pada hari-hari berikutnya
akan aku sesali. Aku tahu bahwa amarah, kebencian, dan kemurkaan bisa
membutakan (mata hati) kita, membuat kita mengambil tindakan yang hanya
akan membawa pada amarah, kebencian, dan kemurkaan yang lebih besar.
Memuaskan angkara yang ada di dalam diri kita hanya gara-gara ludah,
hanya akan mengantar kita pada kekalahan.”
“Dan saat kau ludahi wajahku, aku mengerti apa yang dimaksud oleh
Rasulullah SAW, tatkala beliau memberi tahu kami bahwa : jhad yang lebih
besar bukanlah jihad melawan musuh-musuh kami, tapi melawan ego yang
hidup dalam diri, yang bisa membuat kita melakukan kesalahan secara
membabi buta hanya untuk memenuhi hasrat. Demi sebuah ludah, tidak, aku
tidak akan menghabisimu.”
Mendengan ucapan Imam Ali, air mata pria itu pun bercucuran.
“Demi jiwa ayahku, aku tak pernah mendengar perkataan yang begitu
benar. Jika inilah agamamu, maka aku berharap bisa mengabdikan hidupku
untuknya. Aku telah banyak berperang, tapi kini aku paham bahwa
peperangan terbesarku justru ada persis di hadapanku.”
QS. 16 : 125-126
“Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu
bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar.”
0 komentar:
Posting Komentar